Jumat, Februari 08, 2008

TORNADO AMERIKA dan TSUNAMI ACEH

Meskipun sudah diperingatkan, tornado masih menimbulkan korban jiwa 55 orang. Despite warnings, tornadoes kill 55 (http://news.yahoo.com/s/ap/20080207/ap_on_re_us/severe_weather). Itu headlines news di yahoo.com. Badai tornado terbesar kembali menerjang empat kota di Amerika Serikat Missisipi, Tenneses, Arkansas, Kentucky dan Alabama pada 6 February 2008 lalu, di mulai sekitar pukul 17.00 waktu Amerika Serikat. Tornado terbesar sejak 23 tahun itu menimbulkan korban yang cukup besar bagi negara semodern Amerika Serikat, dengan system peringatan dininya banyak dibicarakan orang dan organisasi penanganan bencananya FEMA (Federal Emergency Management Agency) banyak dijadikan model dalam penelitian bencana (Disaster Mitigation), persiapan (Preparedness) dan tanggap darurat (Response) dan perencanaan pemulihan (Recovery planning) di dunia.

Kita tahu, betapa sekali lagi bencana telah meluluh lantahkan bangunan buatan manusia seperti gedung-gedung, jalanan, dan mobil. Barangkali apabila tidak diperingatkan, jumlah korban jiwa akan besar lagi, seperti kejadian tsunami di Banda Aceh, 26 Desember 2004 pukul 8.45 pagi hari WIB. Di Amerika, masyarakatnya sudah tahu betapa bahayanya tornado sehingga bersembunyi di bawah tanah.Sementara yang jadi korban konon yang tidak sempat sembunyi, atau mereka yang tidak punya tempat sembunyi yang memadai dan tidak menduga Tordano sebesar itu. Di Banda Aceh hampir semua masyarakatnya tidak tahu apa itu tsunami. Sehingga begitu gempa berkekuatan 8.9 SR terjadi, yang mengeringkan air laut, bukanya mereka berlari , malah menghampiri lautan karena ikan-ikan berserakannya . Akhirnya mereka tidak sempat lagi menyelamatkan diri, hanya ada waktu sekitar 20 menit sejak gempa pertama untuk mencapai lokasi penyelematan atau bukit tinggi. Akhirnya Tsunami di Aceh meninggalkan korban ratusan ribu orang, suatu jumlah yang fantastis dalam sejarah bencana manusia modern ini. Contoh-contoh betapa besarnya kerusakan kedua bencana tersebut dapat dilihat dari gambar-gambar satelit dan foto udara.

Ya foto udara dan data satelit telah memainkan peran yang luar biasa saat ini, sejak diluncurkannya satelit Landsat (Land Resources Satelit) tahun 1972. Berbagai peristiwa anomali alam saat ini dapat terekam dengan data satelit. Satelit digunakan bukan hanya untuk menggambarkan kerusakan akibat bencana, tetapi juga memberikan manfaat untuk membantu penanganan bencana. Mulai dari masa persiapan, masa darurat dan penanggulangan, hingga masa pemulihan dan rekonstruksi. Pada masa persiapan sebelum bencana satelit berguna untuk kegiatan mitigasi, membantu identifikasi areal-areal potensi penyelamatan, zonasi rawan bencana, profil lapangan dan kondisi alami suatu bentang wilayah. Masa darurat data satelit bisa digunakan untuk identifikasi lokasi logistik, kawasan bencana, atau jalur-jalur penyelamatan. Sementara pada masa pemulihan untuk pembuatan perencanaan wilayah baru.

Amrerika di bawah president Bush memang terkenal buruk dalam menangani bencana alam. Bencana Katrina di. Lusiana pada 29 Agustus 2005 hingga kini masih menyisakan kesemrawutan penanganan. Hingga tahun 20008, masih banyak korban tinggal di trailer2 yang disediakan FEMA, kriminal meningkat, angka bunuh diri karena frustasi tidak mendapat pertolongan meningkat, orang gila bertambah, pelayanan umum berkurang. Sementara di Banda Aceh, setelah tiga tahun sebagian besar pengungsi (tercatat 102.063 rumah per oktober 2007) mendapatkan rumah, bahkan ada yang mendapat lebih dari satu, sebagian masih dalam pembangunan (kurang lebih 40-60.000 rumah) dan hanya sebagian kecil yang belum mendapatkan. Ini karena problem internal mereka yang tidak mau direlokasi., sementara lokasi tinggal mereka memang didaerah yang rawan bencana, seperti dekat dengan bibir pantai, tergenang dan sebagainya. Yang menakjubkan angka stress dan bunuh diri relatif tidak ada (mungkin karena mereka tahu Islam melarang bunuh diri), jumlah rumah sakit dan puskesmas bertambah (saat ini sebagai propinsi terbanyak bangunan pelayanan kesehatannya), demikian pula sekolah2. Entah bagaimana penanganan Amerika untuk Tornado kita tunggu saja…

Belajar dari kasus penanganan tsunami di Aceh paling tidak ada beberapa kunci utama penanganan bencana yaitu (1) koordinasi, (2) masalah sumberdaya manusia, (3) masalah kerahasiaan negara, (4) pembangunan system informasi, (5) masalah pelayanan public), (6) kesadaran dan kesiapan masyarakat bahwa mereka hidup di daerah bencana, (7) penangana secara terpadu, (8) perlunya penyiapan data geospasial berupa foto dan data dasar , (9) Pendanaan yang effektif, (10) Pengawasan dan kualiti kontrol

PR...

Apaka kita sudah sadar bahwa rumah tinggal kitapun masih belum bebas dari bencana alam, longsor, kekeringan, banjir..sudahkah kita bersiap diri?.

Banda Aceh, 7 Febuari 2008

Rabu, Februari 06, 2008

Bila boleh mengeluh...akibat banyaknya cuti bersama

Sedih juga akibat banyaknya cuti bersama. Pekerjaan dan target program jadi tertunda-tunda. Seperti minggu ini bulan February 2008. Kembali satu minggu ini saya benar-benar menjaga rumah dan kantor. Semua dengan berbagai alasan tersendiri minta ijin untuk pulang. Adapula yang nekat kabur karena tahu pasti tidak akan ada ijin. Yang pasti semua memanfaatkan libur tanggal 7 dan harpitnas tanggal 8 Februari 2008. Sehingga praktis mulai jumat 1 February semua sudah terbang meninggalkan Banda Aceh dan paling cepat masuk kembali sekitar tanggal 11 february. Namun pengalaman menunjukkan senin adalah ahri padat dan harga tiket pun mahal sehingga umumnya mereka akan kembali pada hari selasa 12 February atau rabu 13 February 2008. sementara staf lokal yang ada pun terbawa suasana liburan masuk agak siang dan pulang awal minimal sudah tiga hari ini. Praktis dikantor saya sendiri...

Sebetulnya ini bukan kejadian pertama, akhir tahun lalupun demikian, karena semua sudah ijin sebelum idul qurban tanggal 20 Desember 2007, sekaligus liburam natal dan tahun baru. Sehingga, saya terpaksa kembali tanggal 24 Desember 2007. Saya tidak tahu apa yang ada dalam pikiran mereka sehingga mudah saja, tidak masuk kerja.

Saya tidak tahu apakah pengorbanan saya dan keluarga akan membuahkan sesuatu yang bermanfaat. Yang pasti saya merasa ini sudah tanggungjawab dan resiko ditugaskan ke luar kota, jauh dari keluarga. Sudah resiko menjadi pimpinan. Mudah-mudahan saya tidak diminta tanggungjawab nanti karena terlalu lemah kepada anak buah. memang amat disesalkan saya terlalu lemah untuk menegor mereka. Padahal saya pimpinan mereka. Tapi paling tidak saya jadi tahu mana yang tulus bekerja dan siapa-siapa yang mencoba memanfaatkan kebaikan saya. saya jadi tahu karakter manusia pekerja seperti apa. Saya tidak tahu siapa yang berdosa, membiarkan mereka boles beberapa hari kerja karena harpitnas, atau mereka sendiri yang mencoba memperdaya saya...

Beruntung, dirumah dan kantor ada internet..hampir tiap hari selepas isya saya chating dengan anak-anak dan keluarga dirumah. teknologi Webcam memudahkan kami berdialog dengan saling melihat dengan cuma-cuma....

Andai saja saya boleh mengeluh. Harusnya saya yang pulang dan mereka tunggu ruangan. harusnya mereka jangan pulang kantor sebelum saya pulang. harusnya mereka datang sebelum saya datang... tapi mungkinkah.

Selasa, Februari 05, 2008

Promosi Budaya dan Agama

Waktu mengikuti undangan sebuah workshop di Kyoto beberapa waktu lalu saya bertemu beberapa rekan semasa kuliah di Jepang. Kami masih saling menjaga komunikasi lewat email sehingga begitu mendengar saya datang ke Jepang, spontan beberapa diantara mereka menyempatkan diri menjemput saya di stasiun Tokyo begitu saya berniat ingin sejenak main keTokyo. Kami berjalan-jalan seputar kota Akihabara yang sedikit banyak berubah dan makan malam bersama. Hal yang luar biasa setelah lama kami bergaul, mereka makin mengerti dan tahu apa itu indonesia dan paling tidak mencoba mencari tahu mulai dari warna bendera, bahasa, agama, sampai jenis SIM mobil. Terkadang saya merasa menjadi pelopor deh….promosi “budaya dan agama” di Jepang.

Tetapi ada pengalaman yang paling tidak mengenakkan, khususnya setelah peristiwa bom di Bali 12 Oktober 2002 lalu. Peristiwa tersebut seperti merusak apa yang sudah saya dan mungkin teman-teman lain lakukan secara alami, sekaligus pula merusak konsentrasi dalam pergaulan internasional. Paling tidak, awalnya saya yang begitu semangat mempromosikan wajah ke-Indonesiaan, begitu kejadian bom Bali segalanya berubah. Promosi “budaya dan agama” menjadi sesuatu perbuatan yang tidak mengenakkan. Terlebih disaat harus mengatakan watasino syusin wa Indonesia desu (I came from Indonesia).

Sudah menjadi legenda umum di Jepang, bahwa predikat yang begitu pasti tentang indonesia adalah Bali dan muslimnya (termasuk adanya tsunami juga terkait muslim mengingat aceh dikenal sebagai wilayah serambi Mekah dan satu-satunya propinsi yang menerapkan syariat islam secara bertahap). Kedua terminologi tersebut, sudah menyatu dengan indonesia. Bali karena wisatanya yang sudah mendunia dan muslim karena mayoritas agamanya yang paling banyak didunia.

Kenapa tidak mengenakkan? pernah suatu kali kami sekitar 6 orang, sama-sama pergi kesebuah kebun anggur dan pemandian air hangat (onsen) terkenal di jepang yaitu di Isawa, di kaki gunung Fuji, Propinsi Yamanashi. Kami bertemu dengan pemilik kebun anggur yang sangat ramah menyambut kami. Rupanya pemilik kebun itu belum pernah mengenal ataupun didatangi orang Indonesia. Saat beramah tamah kerumahnya, dia berkata akan mencari tahu tentang Indonesia demikian pula beberapa orang yang saya temui dirumah itupun berkata hal yang sama. Menjadi kebiasaan orang Jepang untuk menyajikan sake (minuman keras tradisional jepang) buatan mereka sendiri kepada tamunya. Namun dengan sangat menyesal saya tidak bisa meminumnya. Mereka akhirnya mendengar penjelasan langsung tentang Indonesia dan perilaku muslim yang tidak minum alkohol dari saya secara tidak langsung. Setelah kembali ke Tokyo, besoknya terjadi bom Bali yang mengguncang dunia. Seketika saya terbayang wajah ojisan-ojisan (panggilan orang tua-tua di jepang) saat itu, begitu mencarikabar Indonesia lewat internet atau berita yang didengar adalah adanya BOM di Bali dan dugaan pelakunya teroris yang di kait-kaitkan dengan islam. Dia, yang begitu semangat berbincang tentang Indonesia dan gembira menyadari kebunnya didatangi orang Indonesia dan berfoto bersama, termasuk melihat rekan wanita muslim dari indonesia dengan busana yang belum pernah dia lihat (jilbab). Akibat bom Bali, saya tidak tahu bagaimana ekspresi dia …..entahlah apakah keinginanannya untuk mengetahui lebih jauh tentang indonesia akan sirna setelah ini...

Bagaimanapun, tak bisa diingkari keberadaan kita dijepang atau negara manapun juga mewakili budaya bangsa dan agama. Apapun perasaan kita akan indonesia (benci, sebel, kesel dsb) selama masih berwajah asia-indonesia, maka tetap saja status ke-Indonesiaannya masih dominan dimata orang luar. Demikian pula seperti apapun tingkah kita di luar, selama masih asia-Indonesia apalagi berlebel muslim masih saja predikat muslim akan melekat. Wajar bila kadang rekan saya "bertanya...hei kenapa kamu gak minum sake atau bir tapi dia minum bukankah kalian sama-sama muslim". Atau gurauan seperti, " kau seperti osama (tuhan atau orang suci) saja..begitu melihat kau si fulan (menyebut salah seorang mahasiswa lain) jadi tidak minum".

Makanya terkadang saya, geleng kepala dan tersenyum geli, ada beberapa rekan mahasiswa Indonesia di Jepang, yang terkesan begitu sebelnya dengan yang berbau indonesia sampai-sampai tulisan dan omongannya banyak miring tentang indonesia di luar. Bahkan gaya hiduppun bebas, minum wine, bir, halal-haram makan tidak peduli. Bukankah itu sama saja di menceritakan kejelekan dirinya sendiri.

Demikian pula, orang indonesia yang mencoba mengikuti gaya semua hidup orang jepang -terlebih bila mereka memang muslim- tanpa melihat baik buruknya perbuatan tersebbut, sampai-sampai tak peduli lagi akan halal- haramnya makan dan minuman atau mencontoh gaya rambut yang penuh warna warni, bukankah itu sama saja menipu mereka dan merendahkan diri sendiri. Bahkan salah seorang mahasiswa Indonesia yang saya tahu di jepang larut dalam kehidupan seperti yang saya ceritakan di atas, saat ini menjadi anggota DPR RI pusat mewakili partai islam (Partai Bulan Bintang?). Mudah-mudahan memang dia sudah tobat...mesti sempat juga mengucap Masyaallah, Astagfirulloh..tidak ada lagikah orang baik di negeri ini??

Tulisan ini bukan berarti menyatakan bahwa semua budaya mereka jelak, budaya membaca atau kerja keras adalah contoh yang baik dan perlu ditiru dari bangsa Jepang, karena kedua budaya tersebut banyak memberikan kemajuan buat siapa saja yang menerapkannya.

Melihat wajah Indonesia yang sedang pucat saat ini, ditambah dengan perhatian dunia, kalau tidak ingin dikatakan sebagai tekanan,atas berbagai peristiwa belakangan ini, ditambah tak terlihatnya gregret perbaikan oleh pemegang amanah pemerintah saat ini, sepertinya tak ada lagi yang patut di banggakan dari budaya bangsa ini kecuali kebanggan agama.

Hanya problemnya apakah benar agama dan bangsa berkaitan....

Minggu, Februari 03, 2008

Kawan Saya Techang (itokazu)

Perasaan Lega dan sedih bersatu saat ketemu dua kawan lama beberapa waktu lalu, di Tokyo. Kami menghabiskan waktu hingga pukul 2 dinihari di sebuah restorant tradisional Jepang. Bukan romantisme ini yang menarik untuk ditulis tapi satu ucapannya yang membuat saya lega adalah, salah seorang dari mereka techang berkata “Dia memahami dan mengerti mengapa islam melarang umatnya meminum alkohol, karena memang alkohol lebih banyak merusak daripada manfaatnya”. Hanya satu yang belum sempat saya jelaskan ke dia adalah pertanyaannya “Ia sudah faham akan bahaya alkohol terhadap tubuh, namun dia belum bisa mengerti kenapa Islam melarang makan babi”. Menurutnya babi itu makanan yang enak bermanfaat buat tubuh, disediakan buat manusia. Kenapa yang baik juga di larang ?. Lanjutnya “Alkohol dilarang karena ada proses manusia untuk menambah kadar alkohol sehingga bisa membahayakan tubuh, sementara babi tak ada peran manusia didalamnya apa nya yang salah dari babi?.

Lega, karena akhirnya dia bisa menemukan kebenaran dari sikap saya yang menolak minum alkohol. Memang kuliah kami sering bersama, dia selalu mengoda saya untuk minum alkohol tetapi selalu saya tolak. Mesti saya tak pernah membacakan satu dalil alquran pun tentang itu, apalagi mengajaknya tak minum. Kami biasa bertemu dikampus rutin selama dua setengah tahun. Kawan tetap praktekum dan survey lapangan hingga riset, Ia kerap mampir kerumah untuk sekedar menikmati teh Java. Ia pula yang telah menyempatkan diri menemani saya menjemput keluarga di Narita, membantu kepindahan ke apato, mencarikan kendaraan, dan berbagai nilai persahabatan lainnya yang telah saya dan keluarga terima selama di jepang. Boleh dibilang ia telah menjadi sahabat Jepang pertama saya & keluarga, bahkan saking dekatnya kita saling memanggil dengan sebutan nama kecil. Dari proses pergaulan itulah Ia tak sengaja mengenal isla. Dia sendiri boleh dibilang tidak beragama, sebagaimana umumnya orang Jepang. Dia juga banyak tahu tentang amalan-amalan di Islam seperti sholat, termasuk ketentuan islam tentang larangan minuman beralkohol, makanan-halal, dan pakaian. Sesuatu yang selama ini dia, dan kemungkinan orang jepang pada umumnya, tak pernah tahu. Tentu bertolak belakang dengan realitas hidup mereka yang tak lepas dari informasi tiap harinya.

Sedih, karena mungkin penjelasan saya tentang babi dan makanan haram (tidak halal) ternyata tak memuaskannya selama ini. Apalagi saat ini hubungan saya dan dia tak seperti dahulu lagi yang mempunyai banyak waktu bertemu. Saat ini sebagai dosen di Nagoya University, tentunya dia sibuk, pertemuan inipun dalam rangka seminarnya di Tokyo dan ia minta saya membantunya mengedit draf papernya yang dia tulis dalam bahasa Inggris. Seandainya dia muslim tentu penjelasan saya akan mudah ditangkap. Karena berbeda halnya dengan seorang muslim yang berangkat sesuatunya dari keyakinan akan kebenaran agama islam, sehingga segala pencarian dan penemuannya yang terlihat tak logis akan dikembalikan kepada keyakinan dasarnya. Sementara bagi non muslim mencari dan mendapat keyakinan setelah menemukan fikiran dan penjelasan yang logis.

Oleh karena itu, menurut saya pribadi, kebenaran agama itu nilainya subjectif bukan objektif. Sebagai mana diklaim orang. Kita tak bisa memaksakan kebenaran Islam kepada orang non Islam. Islam subjektif karena hanya diakui dan diyakini benar oleh penganutnya. Seorang baru mendapakan keyakinan penuh tentang islam manakala dia telah sepenuhnya menjadi islam. Sehingga wajar seorang missionaris, mesti pun banyak pengetahuannya tentang islam (islamologis) dan mendapatkan hal yang logis dalam agama islam, karena dasarnya tak yakin maka tetap tak menjadi islam.

Sabtu, Februari 02, 2008

Tentang GAM

GAM dalam Pandangan orang Awam

Belum lama dalam kesempatan berlibur bersama keluarga di Pulau Rubia, Sabang, saya bertemu dengan Muzakir Manaf, mantan Panglima Perang Gerakan Aceh Merdeka (GAM), salah satu tokoh yang paling dicari-cari tentara selama konflik. Sekilas tidak ada kesan seorang mantan kombatan (sebutan tentara di GAM) darinya, bahkan boleh dibilang dengan wajahnya yang tampan, bicaranya halus dan sopan lebih mengesankan bila dia seorang fotomodel atau pemain sinetron. Saya sempat bicara yang ringan-ringan cukup lama dengannya. Meski agak menyesal juga kenapa tidak sempat berfoto bersama. Karena saat itu Saya tidak ingin mengganggu privasinya apalagi sekedar ingin berfoto. Dia sempat heran kenapa saya bisa mengenalnya. Saya katakan supir rental dan guide yang mengatakan kepada saya. Selain itu siapa yang tidak mengenal dia saat ini di Banda Aceh, banyak tulisan tentang dia, kebetulan pula saya beli beberapa buku sekitar konflik Aceh yang banyak menyebut namanya. Saya pernah juga melihatrekaman vidionya sewaktu masih aktif gerilya di hutan-hutan di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Di BRR, saya kenal dan bergaul beberapa orang GAM, mulai dari kombatan, Kepala perwakilan GAM eropa hingga simpatisan. Rata-rata yang saya temui sangat sopan dan berpengetahuan luas meski ada juga yang terlihat kasar. Bagi yang kasar, barangkali ini terjadi karena mereka orang lapangan dan agak kikuk berhubungan dengan orang luar, apalagi dari Jawa yang konon selama ini mereka di okrin untuk menganggap sebagai musuh atau mata-mata tentara.

Beberapa diantara mereka ada juga yang agak kampungan, pernah sekali waktu rumah saya dititipi salah seorang kombatan GAM. Karena dia baru saja datang dari Pidie dan diterima bekerja, tetapi tidak punya tempat tinggal. Dia menempati kamar di lantai atas lengkap dengan kamar mandi, lemari dalam dan pendingin ruangan (AC). Malam hari datang kawan-kawannya sekitar 5 orang, mereka bertanya dimana si “AGAM”, saya bilang di atas, langsung mereka naik ke atas tanpa ucapan terima kasih atau basa-basi bicara dengan saya sebagai tuan rumah. Rupanya semalaman si AGAM tidak bisa tidur, dia kedinginan dan menanyakan cara matikan AC. Si AGAM sempat tinggal sekitar 1 minggu di rumah saya. Dia tidak pernah bicara sepatah katapun ke saya karena memang kami jarang ketemu. Akhirnya dia mendapat rumah kontrakan dan pindah. Saat pindah malam hari, itu pundia tidak bertegur sapa. Belakangan kami bertemu, rupanya dia lebih dulu mengenali saya, saya sendiri sudah lupa wajahnya karena hanya bertemu malam hari. Dia minta maaf karena waktu itu tidak sempat pamit, dia tidak ingin mengganggu saya dikamar karenanyadia pergi begitu saja. Pertemuan inipun tidak sengaja, saat itu supir saya berhalangan, dan dia dikirim sebagai supir pengganti oleh kantor. Setelah beberapa kali bertemu saya mulai mengenalnya, ternyata dia tidak seperti yang saya bayangkan, boleh dibilang dia terlalu lugu. Sekarang kami sering bincang-bincang disaat dia mengantar saya ke suatu tempat pertemuan. Rupanya dia cukup rajin ke mushola kami sering bertemu sesudahnya.

Saya lihat ada beberapa kelompok di GAM, yaitu kelompok yang sangat alim dan taat menjalankan ibadah juga pandai berdakwah. Saya kenal beberapa diantara mereka aktif di BRA (Badan Reintegrasi Aceh). Mereka umumnya masih sangat dekat dengan kehidupan munasah (mushola di kampong), pesantren (dayah). Umumnya mereka menyambut gembira dengan diperlakukannya Aceh sebagai daerah khusus dan diterapkannya syariat Islam. Rata-rata mereka juga tidak pernah membunuh selain tentara selama konflik, sebaliknya harta benda mereka ludes karena konflik. Mereka sangat ramah terhadap saya. Kami biasa ketemu di masjid selepas bekerja, bahkan kami bermain badminton bersama selepas kerja.

Kelompok kedua, lebih banyak lagi jumlahnya mewakili kepentingan politis seperti demokrasi, perjuangan ketidakadilan, kepemimpinan dan pelanggaran HAM. Mereka selalu mengkritik pengurasan sumberdaya alam Aceh oleh pemerintah pusat, tidak adanya kejelasan sidang pelanggaran HAM dan sebagainya. Kelompok ini sedikit banyak masih bisa menerima perdamaian Helsinki, selama kepentingannya dan tujuan politisnya terpenuhi. Namun demikian fikiran lama yang kritis seringkali dilontarkan secara terbuka. Bahkan di kantor sendiri saya masih sering mendengar mereka bicara tentang ini, pernah sekali waktu saya terlibat diskusi dengans alah satu dari mereka dan dia sempat memperingatkan ..” bapak Darmawan jangan sampai berfikiran bahwa kehadirannya di BRR untuk menjaga perdamaian..ini masalah politis..”. Saya jawab “Betul, saya tidak terkait politik, justru karena damai saya mau datang”. Sebaliknya juga saya sempaikan ke dia “bahwa hendaknya dia juga jangan berfikiran kehadirannya dalam rangka mengacaukan perdamaian, karena ini fikrian separatis lama dan bisa berbahaya..” Sejak itu, kami jarang ketemu dan tidak terlalu sering bersama, padahal kami sering main tennis bersama. Kelompok kedua ini masih cukup baik pengamalan ibadah sehari-hari, seperti sholat 5 waktu, puasa dan pengetahuan tentang islam, mesti terkadang selalu mengagungkan kejayaan islam di Aceh. Umumnya mereka cukup berpendidikan.

Kelompok ketiga, adalah mereka yang kecewa karena diperlakukan tidak manusiawi. Mereka menyaksikan sendiri orang tua, anak, istri dan saudara mereka dibunuh, diperkosa atau hilang. Harta merekapun habis dibakar selam konflik. Mereka inilah kelompok yang punya rasa dendam dengan tentara, pemerintah pusat dan orang dari luar. Umumnya mereka kurang berpendidikan. Dengan adanya perjanjian perdamaian mereka hanya berharap dapat hidup normal, dan dapat pekerjaan. Basis idiologi agama lemah dan kepentingan politis tidak ada.

Kelompok lain adalah dari kalangan penjahat dan menghalalkan segala cara. Umumnya mereka dekat dengan kelompok ketiga. Mereka biasa merampok, tanam ganja dan memeras. Kelompok ini yang sangat sulit dikendalikan, Karena struktur organisasinya tidak jelas, mereka hanya menyukai kehidupan bebas, basis ideiologi dan agamanya juga tidak ada. Bahkan menurut rekan saya, terkadang mereka mabuk-mabukan.

Beruntung saya saat ini bisa berteman dengan AGAM-AGAM yang baik. Saya tidak peduli dengan AGAM yang ingin menjadi bupati…karena memang mereka sudah terlalu lama tidak mendapat keadilan dari pemerintah pusat…

Buku Baru

Buku baru tentang Peran data Geospasial dan GIS Pasca Tsunami 26 Desember 2004


Alhamdulillah, akhirnya obsesi penulisan buku selama tugas di BRR dapat saya selesai kan setelah melalui berbagai kemudahan dan tantangan. Sebenarnya, saya ingin memberi judul buku ini “Sistem Informasi Geografi (SIG) dan Bencana Tsunami 26 Desember 2004”. Judul ini diinspirasi dari undangan ESRI Internasional Conference di Sandiego Juni 2007 yang bertema “NAD Indonesia: GIS beyond Disaster”. Namun, aktivitas yang saya lakukan di Aceh tidaklah terbatas pada penerapan SIG atau GIS (Geographic Information System). Saya banyak disibukkan oleh kegiatan yang bersifat pengelolaan data geospasial dalam membantu program pemulihan NAD-Nias. Sementara aplikasi SIG dilakukan dalam rangka “memback up” kegiatan organisasi-organisasi non pemerintah /Non Governmental Organization (NGO) yang ada. Oleh karena itu, saya memberi judul buku ini “Data Geospasial di balik Program Pemulihan Aceh-Nias Tsunami: Perspektif Manajemen”.

Sebuah buku perdana tentang geospasial dan tsunami. Sebuah “lesson learn” atau hikmah ajar yang dipetik dari pengalaman saya terlibat dalam aktifitas rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004, khususnya dalam menata infrastruktur data geospasial.

Lebih dalam lagi, buku ini menguraikan bagaimana tantangan yang ada serta bagaimana saya dan teman-teman di Satuan Tugas Geospasial (STG) menjawab masalah tersebut. Buku ini juga memaparkan bentuk program kerja yang besar kemungkinan dapat diterapkan kembali untuk membantu proses pemulihan (recovery) wilayah manapun di Indonesia, yang mengalami kejadian serupa, dengan belajar dari penanganan pasca gempa dan tsunami di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Kepulauan Nias.

Memang sudah banyak buku ditulis tentang peristiwa tsunami, mulai dari puisi-puisi tsunami, kisah korban tsunami, sejarah tsunami maupun kisah-kisah sedih lainnya tentang bencana alam tersebut. Namun, buku yang menulis tentang proses pemulihan wilayah yang rusak akibat gempa dan tsunami terkait informasi aset data pembangunan belum banyak dilakukan. Selain kekurangan data, biasanya bahan-bahan seperti ini hanya menjadi konsumsi kalangan terbatas atau disajikan dalam bentuk paper-paper ilmiah. Padahal, informasi seperti itu perlu disampaikan secara luas agar menjadi tambahan informasi di balik peristiwa gempa dan tsunami. Selama ini, masyarakat umum hanya tahu gambar-gambar foto atau data satelit wilayah terkena tsunami. Padahal, mereka perlu juga tahu bahwa di balik gegap gempitanya proses pemulihan wilayah NAD-Nias terdapat pemanfaatan teknologi geospasial dan peninggalan aset data yang sangat berguna nantinya. Bagaimana status data dan siapa saja yang berperan di balik proses itu belum tercatat dalam referensi dan belum ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami oleh umum.

Tujuan penulisan buku ini sederhana, yaitu berbagi pengalaman atau belajar dari pengalaman dalam mengelola data geospasial untuk mendukung pemulihan wilayah NAD dan Kepulauan Nias. Siapa pun bisa membaca buku ini bila ingin memahami peran data geospasial di balik proses pemulihan NAD-Nias pasca gempa dan tsunami 26 Desember 2004, bentuk pengelolaan dan kebijakan penyediaannya, baik sebagai referensi maupun masukan dalam menyusun kebijakan. Lebih jauh lagi, buku ini mengupas persiapan pembentukan tim pemetaan cepat (rapid mapping team), tantangan dan lingkungan kerja yang kompetetif dan terkadang memancing emosional. Beberapa contoh penggunaan data geospasial dalam bidang perencanaan desa, pembangunan infrastruktur jalan dan energi disampaikan secara sekilas.

Buku ini juga sebagai salah satu cara penghormatan saya terhadap korban gempa dan tsunami 26 Desember 2004, yang mudah-mudahan Allah SWT memberikan tempat yang layak disisi-Nya sesuai dengan amal perbuatan masing-masing. Selain itu, tulisan ini sekaligus sebagai dukungan saya kepada korban tsunami yang masih hidup atas kesabaran dan ketaqwaan mereka dalam menerima musibah dan telah bahu membahu untuk mengembalikan kehidupan ekonomi, sosial dan lingkungan menjadi lebih baik.

Sesuatu yang saya alami sendiri itulah modal utama dalam melahirkan kata demi kata dalam buku ini. Sebagian orang beranggapan bahwa menulis pengalaman jauh lebih ringan ketimbang menulis sesuatu yang bersumber dari hasil kajian atau penelitian.

Buku ini dimulai dengan sistematika penulisan berupa kupasan pengalaman dalam mengelola data geospasial pada masa tanggap darurat, termasuk kesulitan memperoleh data, konflik internal dalam tim hingga buruknya koordinasi pekerjaan (Bab 1). Selanjutnya, masa pemulihan oleh BRR, mulai dari persiapan keberangkatan tim ke Aceh dan kendala yang ada baik teknis, administratif maupun struktural (Bab 2). Aktifitas pemotretan dan pemetaan dasar rupabumi wilayah NAD dan Nias yang terkesan lambat dikupas dalam Bab 3. Aktifitas pemetaan tematik sumber daya alam dan lingkungan serta tematik sektoral yang kurang mendapat perhatian oleh BRR dan Pemerintah Daerah dibahas dalam Bab 4. Sementara servis peta dan support aplikasi GIS ke NGO yang penuh tantangan dan penyusunan database geospasial yang membosankan dan terkesan lambat, masing-masing dibahas dalam Bab 5 dan Bab 6. Sementara pembinaan infrastruktur data geospasial propinsi sebagai bagian dari capacity building di NAD-Nias yang merupakan aktifitas paling akhir dan paling sulit karena banyaknya kepentingan dibahas dalam Bab 7. Terakhir, Bab 8 yang membahas perspektif pengelolaan data geospasial wilayah bencana. Bab-bab tersebut di atas tersusun berdasarkan urutan pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan di BRR. Untuk detilnya silahkan baca bukunya...insyaallah segera terbit