Rabu, Juni 18, 2008

Perspektif Pengelolaan data Geospasial NAD

Berbagi pengalaman dan Belajar dari Pengalaman

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias ibarat ladang pengetahuan dan pengalaman, setidaknya itulah yang dirasakan beberapa rekan yang bekerja di BRR. Berbagai pengalaman selama bekerja untuk program rehabilitasi dan rekonstruksi telah, sedang dan akan senantiasa ditulis sebagai buku putih atau saksi dinamika kerja di BRR dari pandangan internal yang barangkali akan berguna dikemudian hari, dalam rentang waktu yang tidak dapat ditentukan.

Demikian pula yang saya alami dalam hal mengelola data geospasial, benar-benar luar biasa mulai dari melengkapi data dasar berupa membantu pemotretan foto udara, membuat peta garis untuk peta rupabumi hingga penggunaannya untuk berbagai keperluan, seperti perencanaan tata ruang mulai dari desa, kecamatan hingga kabupaten. Selain itu, pemanfaatan data geospasial untuk kebutuhan kegiatan pembangunan infrastruktur jalan, jembatan dan irigasi mulai semakin jelas membutuhkan data titik tinggi referensi termasuk data pasang surut. Meski analisa GIS relatif jarang dilakukan, namun pemanfaatan data geospasial secara sederhana berupa interpretasi visual dan tumpang tindih sudah sangat membantu kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi NAD-Nias.

Analisa-analisa GIS detil sangat diperlukan terutama untuk mendukung kegiatan seperti pemodelan bahaya tsunami, ataupun pemetaan geo-hazard dan Rencana TataRuang Wilayah (RTRW). Tampak sekali perlunya ketersediaan peta dasar yang cukup detil hingga skala 1:10.000 untuk mendukung setiap kegiatan penanganan darurat wilayah terkena bencana. Selain kedetilan, terbaru dan mudah serta cepat diakses merupakan tuntutan logis keberadaan data geospasial, sehingga bermanfaat pula untuk kegiatan penyusunan RTRW wilayah kota dan kabupaten.

Barangkali akan merupakan kerugian untuk kedua kali kalau kita tidak bisa mengambil hikmah ajar (lessons learnt) dari peristiwa gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Untuk wilayah lain yang tidak terkena bencana setidaknya perlu berkaca diri dan membenahi data utama yang mendukung setiap kegiatan pembangunan wilayah mereka mulai dari data rupabumi, data Jaring Kontrol Vertikal (JKV) dan Jaring Kontrol Horizontal (JKH) serta data batimetri atau kedalaman laut. Selain itu mengingat luasnya permasalahan dan besarnya kegiatan maka kecepatan pengambilan keputusan dan koordinasi menjadi sangat vital dalam setiap kebijakan.

Dalam hal kejadian bencana alam di suatu wilayah, maka peran data geospasial dapat ditunjukkan lewat skenario sebagai berikut. Kegiatan yang pertama dilakukan pada wilayah yang tidak tersedia data geospasial adalah berupa pemotretan foto udara dan interpretasi data tersebut menjadi peta garis dalam berbagai skala. Dalam hal keterbatasan dana, maka data satelit resolusi tinggi seperti Quick Bird dan Ikonos yang mempunyai resolusi 50-60 centimeter dapat menjadi alternatif terbaik. Ketersediaan data tersebut terbukti sangat membantu mengenali kondisi lingkungan fisik dan topografi sebelum dan sesudah bencana di wilayah NAD-Nias. Data utama tersebut selanjutnya menjadi dasar untuk kegiatan penyusunan peta perencanaan wilayah ataupun penyusunan peta tematik lainnya.

Selain penyiapan data dasar rupabumi dan tematik, maka pelayanan data tanpa biaya menjadi kunci utama suksesnya pemanfaatan data geospasial untuk membantu kegiatan pemulihan NAD-Nias. Bisa dibilang sebenarnya para NGO atau pelaksana kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi tidak terlalu mempedulikan apakah kegiatan mereka memerlukan data geospasial atau tidak. Dalam arti, meskipun mengalami kesulitan akses data geospasial, mereka masih dapat menyelesaikan kegiatan. Sehingga, di sini terlihat peran tim GIS yang harus secara agresif menjelaskan ke pelaku pembangunan akan manfaat data geospasial untuk optimalisasi kegiatan mereka. Namun, walaupun data diberikan tanpa biaya tetap diperlukan aturan main yang pasti berupa peraturan penggunaan data (data usage agreement) agar tidak disalahgunakan oleh pihak ketiga untuk keperluan pribadi atau komersil, karena semua data tersebut diperuntukkan bagi korban bencana dan tidak layak dimanfaatkan semena-mena.

Semua bentuk pelayanan dapat berjalan cepat dan lancar manakala tersusun suatu basis data geospasial yang baik, oleh karena itu penyusunan metadata dan pembenahan basis data geospasial harus tetap menjadi prioritas kerja berikutnya tim GIS setelah pelayanan, termasuk penyiapan WebGIS untuk penyebaran informasi data lewat jaringan internet. Bentuk terakhir skenario adalah peningkatan kemampuan daerah, khususnya berupa pemberian pelatihan mulai dari penggunaan GPS hingga pelatihan GIS baik tingkat dasar, lanjut hingga pelatihan GIS untuk pengambil keputusan.

Selain itu tidak dapat dipungkiri peran organisasi non pemerintah atau NGO untuk membantu kelancaran kerja tim GIS di daerah, khususnya dalam mengimplementasikan data geospasial ke seluruh organisasi pelaksana pekerjaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Peran NGO, khususnya NGO lokal sebagai rekan kerja (partner) dari daerah terbukti sangat efektif membantu program peningkatan kemampuan daerah. Meskipun tidak jarang terjadi persaingan kegiatan antar tim pusat dan daerah, maka dalam hal ini diperlukan suatu aturan main yang jelas berupa kesiapan tim pusat dengan berbagai paduan dan modul siap pakai. Tidak kalah penting dukungan kantor pusat atas tim GIS yang dikirim ke daerah mutlak diperlukan, agar mereka dapat bekerja dengan penuh percaya diri dan ada legistimasi.

Terkait pengiriman tim GIS atau tim survei cepat ke lokasi bencana, pada masa tanggap darurat dapat dikirimkan selama-lamanya satu hingga dua bulan kerja. Pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi sebaiknya pengiriman langsung ke lapangan yang efektif adalah paling lama 1 tahun. Selebihnya merupakan program sistematis yang merupakan bagian dari program rencana jangka panjang lembaga yang bersangkutan (masuk dalam program rencana strategis lembaga) ataupun di alihkan tanggungjawabnya kepada pemerintah daerah atau organisasi swasta lainnya di bawah koordinasi intansi pemerintah yang berwenang. Terlalu lama waktu kerja ternyata cukup membosankan bagi tim yang bersangkutan, apalagi tidak ditunjang dengan kesiapan program jangka panjang dari kantor pusat. Selain itu untuk pengiriman jangka panjang, sebaiknya perlu dilakukan pergantian personil tiap 6 bulan dengan program yang berbeda tergantung pada prioritas kerja hasil diskusi dengan tim terkait lainnya di daerah. Keperluan tim yang utama adalah tenaga ahli bidang GIS yang berasal dari geografi atau disiplin ilmu lain terkait pemetaan, tenaga ahli survei GPS dan bidang geodesi, tenaga bidang infrastruktur jaringan dan webbase, tenaga ahli yang menguasai komputer dan basisdata dan tenaga ahli bidang penginderaan jauh serta beberapa operator kartografi yang mampu mengoperasikan aplikasi GIS dan CAD.

Program jangka panjang terkait pengelolaan data geospasial pada wilayah bencana setidaknya melengkapi peta dasar berbagai skala secara sistematis, termasuk pemasangan dan pembenahan JKV dan JKH dengan menggunakan teknologi GPS. Pengukuran JKH secara terestris meski lebih teliti, tampaknya kurang tepat dilaksanakan karena memakan waktu yang panjang serta dana yang besar. Pada keadaan normal maka kegiatan pengukuran secara terestris dapat dilakukan secara intensif oleh lembaga berwenang.

Jumat, Juni 13, 2008

Susahnya bertemu Gubernur NAD

Bertemu dengan pejabat tinggi sudah pasti susah, apalagi setingkat gubernur. Saya mengalami sendiri bagaimana susahnya bertemu gubernur NAD. Kami sudah kirim surat dan telepon jauh-jauh hari, karena kesibukan kami akhirnya diberi tahu bisa menjumpai beliau kebtulan beliau baru sampai dari Jakarta.

Hari itu (Rabu 11 Juni 2008) kami pergi ke kantor Gubernur, dan jam menunjukkan pukul 11 karena dijadwalkan kami akan bertemu sekitar pukul 13.00 atau sehabis makan siang. Tak terbayangkan sebelumnya, ternyata menunggu di ruang tamu gubernur seperti menunggu dokter umum di rumah sakit umum di jakarta, atau seperti antri tiket kereta untuk mudik bahkan mungkin lebih tetap antri jumpa artis. Ya Gubernur yang satu ini bak Artis, bagi masyarakat Aceh. beliau terpilih secara demokratis lewat calon independen (non partai). Beliau mengijinkan siapapun bertemu langsung dengannya, bahkan sering kali kami mendengar beliau menyetir sendiri kendaraan dinasnya. Salah seorang rekan saya, kebetulan dia membuka toko komputer di Banda Aceh pernah kedatangan gubernur hanya untuk membayar uang komputer. Beberapa hari sebelumnya dia memang ditelepon bahwa gubernur memerlukan laptop dan toko dia mengirimkan sebuah laptop.

Demikian merakyatnya sampai sampai aturan protokol seperti tidak jalan. Sambil menunggu saya perhatikan begitu banyaknya pengunjung sampai bangku yang ada tidak cukup menampung semua dan masing-masing ingin segera bertemu bahkan terkesan memaksa ingin bertemu. Berkali-kali ajudan gubernur bilang kemereka tolong ikuti prosedur, namun tetap saja mereka tidak beranjak dan berharap bertemu.

terkadang urusanpun tidak terlalu penting, saya perhatikan ada seorang ibu yang minta biaya tiket pesawat untuk anaknya yang akan pergi keluar daerah, ada yang minta bantuan biaya operasi plastik, bantuan biaya modal bengkel yang hanya 20 juta dan banyak lagi masyarakat yang membawa amplop proposal. Dalam group lain tampak para pengusaha dengan tas dan baju rapi, para konsultan asing, beberapa pejabat pemerintah hingga beberapa organisasi masyarakat.

Seperti halnya saya, masing-masing mempunyai satu tujuan yaitu pengin ketemu langsung dengan gubernur. Disinilah masalahnya kami yang sudah ikut protokol ternyata dengan begitu saja dikalahkan oleh mereka yang langsung "selonong boy". Saya perhatikan beberapa kali kami tersela, padahal sang ajudan sudha bilang, pak habis ini silahkan bapak masuk. Namun kami tersela oleh seseorang yang menurut infonya adalah mantan komandan GAM (Gerakan Aceh Merdeka), lalu kami tersela lagi oleh pejabat daerah, dan kami tersela lagi oleh pengusaha yang juga mantan kombatan (istilah tentara GAM), lalu tersela lagi oleh seseorang yang masih familinya. Masing-masing mereka membawa orang lain. Jadi lebih mirip calo, karena yang membawa masuk keluar tetapi orang yang dibawanya masih didalam. Demikain hal itu terjadi berulang-ulang sampai waktu menunjukkan pukul 16.30. Saat itu diluar sudah menunggu rombongan KIP (Komite Independen Pemilu) dan tim asisten gubernur, merekapun sudah memasuki lorong ke dua dan berkumpul di ruang rapat. Ruang tunggu gubernur NAD berkamar-kamar, ruang tunggu utama besar, lalu ada ruang tunggu sebelum masuk kamar beliau. Biasanya ruang tunggu persis depan gubernur penuh orang, ada yang merokok ada yang batuk-batuk ada yang minum kopi dan hanya ada 3 tempat duduk sehingga praktis yang lain berdiri.

Kebetulan kondisi saya saat itu juga sedang flue, sehingga kepala pening, perut mual karena belum makan, belum sholat zuhur dan asyar,..karena berdiri berjam-jam tanpa kepastian. Akhirnya setelah dapat informasi bahwa Gubernur akan rapat dengan KIP dan tim asistennya yang mungkin sampai malam, saya putuskan pulang. Aduh capek deh.... Padahal saya saat itu adalah utusan kepala BAKOSURTANAL untuk memastikan pertemuan menyangkut nota kesepahaman antara pemda dan kantor BAKOSURTANAL.

Itulah pengalaman pertama dan barangkali terakhir saya antri untuk ketemu gubernur. memang tidak bakat jadi tim protokol kali ya.. Mungkin perlu bagi khalayak yang dekat dengan gubernur untuk memahami tentang aturan protokol, administrasi kenegaraan dan yang paling penting budaya antri, tidak "selonong boy" karena ini juga kezaliman...

Sabtu, Juni 07, 2008

BRR dan BRA berlomba membangun Aceh

Meskipun berbeda huruf kedua lembaga tersebut mempunyai banyak kesamaan. Meskipun mempunyai tujuan, visi dan misi berbeda, ke dua lembaga tersebut pasca terjadinya tsunami 26 Desember 2004 di wilayah propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

BRR adalah Badan rehabilitasi dan rekonstruksi (BRR). Sejak April 2005, Pemerintah Indonesia membentuk Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh – Nias (BRR) yang diberi mandat untuk mengkoordinir bantuan tsunami dan proses rehabilitasi di Aceh pasca tsunami. Selama 5 tahun program kerjanya, diperkirakan membutuhkan dana sebesar 60 trilyun. Dana tersebut berasal dari moratorium hutang Indonesia, bantuan lain dari Negara luar, donator pribadi baik dalam maupun luar negeri.

BRA adalah Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Pasca penandattanganan nota kesepahaman (MOU) damai antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki 15 Agustus 2005, Pemerintah membentuk Badan Reintegrasi Aceh. Badan ini dibentuk untuk mengelola kegiatan dan dana reintegrasi bagi korban konflik maupun mantan kombatan GAM. Pemerintah menyiapkan anggaran khusus untuk mendukung program reintegrasi pasca MOU, selama tahun 2005/2006 diperkirakan tidak kurang dari 200 milyar telah di salurkan ke BRA. Sementara dalam RAPBN tahun 2008 pemerintah menganggarkan Rp 450 milyar untuk mendukung program BRA yang disalurkan lewat Departement Sosial.