Senin, Juli 21, 2008

In Memorium Bapak H. Tarmidi Bin Kasnari (Kapten Infantri)

Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun

Telah berpulang ke Rahmatullah ayahanda tercinta Bapak H. Tarmidi bin Kasnari, pada hari Sabtu 12 Juli 2008 pukul 01.30 di rumah sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto pada usia 70 tahun dan dimakamkan pada hari yang sama di TPU Menteng pulo.

Ayahanda sejak tahun 1990 mengalami stroke hingga menghalangi gerak dan bicaranya. Sakit ini pula yang membatasi aktifitasnya sebagai seorang tentara aktif di ARHANUDRI (artileri Pertahanan Udara RI). Berbagai pengobatan alternatif dilakukan seperti pijat, tusuk jarum, selain pengobatan resmi dari dokter. Namun semua itu tidak membuahkan hasil yang menggembirakan. Menurut pengakuan beliau, sesaat setelah pengobatan memang terasa segar namun beberapa lama kemudian kondisi kembali seperti semula lemah dan sulit bergerak.

Sejak 5 tahun terakhir kondisi bapak memang menurun seiring usianya yang bertambah. Bapak sudah semakin sulit berjalan, praktis kemasjidpun harus dituntun. Sejak tahun 2005 beliau juga sudah tidak ingin ke dokter lagi. Berbagai alasan dikemukakan, menurut beliau, di rumah sakit hanya di periksa sekedarnya dan diberi resep obat yang sama selama beberapa tahun. Beliau lebih suka menebus obat tersebut di apotik langsung. Selain itu perjalanan kerumah sakit yang jauh dan sulitnya berjalan membuat beliau semakin enggan ke rumah sakit.

Bapak tidak meninggalkan pesan tertulis ataupun wasiat khusus. Namun kami semua hafal akan pesan pesan moral dan wejangan yang disampaikannya. Sejak kematian adik kandungnya (pak yadi) sebelum lebaran tahun 2006, beliau terlihat pasrah dan seringkali menceritakan kematian. Bahkan untuk bergerakpun semakin sulit. Kami berinisiatif membelikan kursi roda. Bapak seringkali berpesan, bahwa dia meninggalkan uang untuk pengurusan kematiannya supaya keluarga tidak kesusahan, beliau juga berusaha menghemat pengeluaran agar terkumpul cukup dana untuk mengurus kematiannya.

Karena berulang kali diucapkan, terasa bosan juga kami anak-anaknya mendengar bicarannya tentang persiapan kematian. Sering pula kami sedikit bercanda kepada bapak sambil menanyakan “kapan meninggalnya pak ?” atau “memang bapak sudah tahu kapan akan mati”. Secara pribadi saya seringkali menyampaikan untuk tidak berbicara tentang kematian, lebih baik dana yang ada untuk usaha seperti buka warung, kalau masalah kematian kita tidak pernah tahu dan itu fardlu kifayah, jadi pasti ada yang menanganinya. Saya sampaikan kepada adik dan kakak bahwa perlu dihidupkan semangat bapak dengan sesuatu seperti merapikan rumah, merenovasi rumah atau membuat usaha untuk adik-adik yang masih menganggur.

Kebetulan dua adik masih belum lagi punya pekerjaan pasti dan saya lihat ini salah satu masalah yang mungkin mengganjal fikiran bapak. Dengan adanya usaha keluarga untuk kedua adik tersebut, ataupun merenovasi rumah untuk dapat ditinggali bersama diharapkan bapak juga semakin tenang. Kondisi ini secara tidak langsung akan menenangkan fikiran dan menambah daya tahan tubuhnya.

Saat itu entah kenapa, bapak sepertinya menunggu saya pulang. Setelah 2.3 tahun bertugas di Aceh. Sabtu 5 Juli 2008 saya kembali. Biasanya apabila saya kembali dari Aceh, selalu saya sempatkan main ke rumah orang tua dan bertemu bapak. Kami biasa ngobrol. Bila saya dan anak-anak datang, beliau pasti keluar dari kamar dengan kursi rodanya dan akan duduk di ruang tamu menemani kami hingga menjelang zuhur dan kembali ke kamar.

Namun kali itu, saya menunda mengunjungi bapak. Barangkali karena ini kepulangan terakhir dan kemungkinan tidak kembali lagi ke Aceh sehingga saya berfikir banyak waktu dan berniat akan datang di akhir minggu. Apalagi saat itu anak-anak masih dalam liburan sekolah praktis saya menunda-nunda mengunjungi bapak. Kamis (10 Juli) sore saya di telpon Rudi (adik) bahwa bapak sakit dan minta di bawa dokter, malam hari saya telpon ibu memberi tahu bahwa saya akan datang jumat pagi sekaligus akan membawa bapak ke rumah sakit. Saya minta ibu menyiapkan surat-surat rumah sakit. Jumat 11 Juli 2008, bertepatan dengan hari ulang tahun istri, saya ke Jakarta pagi hari. Sesampainya di rumah orang tua, Saya lihat kondisi bapak seperti orang tidur antara sadar dan tidak dan terdengar suara seperti mengorok. Kemungkinan karena banyaknya cairan di tenggorokan. Saya hanya dapat membisikkan kedatangan dan bilang bahwa saya sudah kembali dari Aceh, sudah berkumpul dengan keluarga dan saya minta bapak sabar dan tabah dan selalu berzikir dalam hati.

Saya putuskan membawa bapak ke rumah sakit dengan menggunakan ambulan dari pelayanan 118. Selama menunggu ambulan saya mencoba membantu bapak untuk mengucap syahadat. Saya yakin bapak mendengar mesti tidak bisa melihat, ini bisa saya rasakan dari sentuhan tangannya. Pukul 11 bapak dibawa ke rumah sakit Ridwan Meuraksa (tempat beliau selama ini berobat jalan) di ruang unit gawat Darurat (UGD). Kami diberi tahu bahwa ruang ICU rumah sakit sedang di sterilisasi dan disarankan pindah ke rumah sakit rujukan RSPAD. Setelah Jumatan kami bawa bapak ke RSPAD. Saya sempat mendengar bapak mengucap kalimat laa illa ha illallahu mesti terasa berat saat di rumah sakit. Disana pun ternyata seluruh kamar dan ruang ICU sudah penuh, sehingga praktis bapak hanya di rawat di ruang UGD RSPAD. Malam pukul 21.00 saya dapat kepastian bahwa ada kamar yang sedang disiapkan untuk bapak yaitu di lantai 3 unit stroke.

Saya tidak tahu persis apa penyakit bapak. Namun menurut analisa sementara dokter di rumah sakit Ridwan Meuraksa, bapak mengalami stroke ke dua dan juga ada gagal ginjal dan perlu diperiksa darah ataupun dicuci darah sesudahnya. Kedua komplikasi tersebutlah yang membuat bapak terlihat lemas dan tidak sadarkan diri. Namun feeling saya mengatakan bahwa bapak pada kondisi menjelang sakratul maut dan barangkali sudah ajalnya. Ibu menyuruh saya untuk pulang sekalian mengantar adik-dik dan pakaian kotor. Sesampainya di rumah sekitar pukul 23.00 malam saya diberi tahu mbak tuti (kakak pertama) bahwa kondisi bapak menurun. Saya minta mbak tuti membimbing bapak membaca syahadat. Suasana di UGD yang ramai dengan pasien dan pengunjung memang menyulitkan dia untuk selalu menuntun bapak bersyahadat. Kondisi bapak makin menurun. Pukul 24 dipasang alat picu jantung serta berbagai pengobatan lainnya. Saya terus berkomunikasi dengan mbak tuti di rumah sakit, saya hanya minta dia sabar dan tetap membantu bapak membaca shahadat.

Sekitar pukul 01.30 saya diberi kabar mbak tuti bahwa bapak telah meninggal dunia. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun hanya itu yang saya bisa ucapkan. Tanpa terasa air mata mengalir. Bapak yang sejak sakit terkesan tidak ingin merepotkan anaknya telah kembali. Bapak yang saya kenal gagah, baik hati, tidak banyak bicara banyak rencana akhirnya menyerah juga pagi itu untuk kembali kepangkuan Illahi. Bapak yang sempat membuat sumur pompa untuk mengatasi kesulitan air di rumah, Bapak yang sempat membenari atap ruang tamu yang rusaknya. Inilah jalan panjang dari Allah atas hambanya. Inilah cara Allah untuk meng akhiri penderitaan panjangnya. Bapak memang seperti menunggu saya pulang dari Aceh untuk mengucapkan perpisahan. Selamat jalan bapak, allahuma firlahu warhamhu waafihi wa’fuanhu. Ya Allah yang maha pengampun, ampunilah dosa bapak ku, kasihanilah dia dan aafkanlah kesalahanny, muliakanlah tempat kembainya, lapangkanlah kuburnya dan cuculah dia dari dosa sebagaimana kain ihram yang dikenakannya untuk menutupi jenasahnya. Amin ya robbal alamin.

Ucapan terima kasih kepada pengurus dan jamaah Mushola Al hidayah, para ustad dan alim ulama di kampong Bali-Manggarai yang dengan sukarela membantu mengurusi persiapan pemandian, sholat jenasah hingga pemakaman dan tahlilan selama 7 malam dengan khatamam alquran. Juga kepada handai tulan dan sabahat yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang menyampaikan belasungkawa dan doanya. Semoga Allah membalas amal saudara/sdri semua. Amin.

Atas nama keluarga almarhum bapak Tarmidi, kami istri, saudara dan anak-anak serta cucunya,menyampaiakan mohon maaf dan sudilah bapak dan ibu sekalian memaafkan kesalahannya selama ini. Apabila masih ada permasalahan yang belum diselesaikan menyangkut hutang pituang kami mohon dapat diberitahu. Terima kasih

Cibinong, 17 Juli 2008

Dari ananda Mulyanto Darmawan