Jumat, April 29, 2011

Neraca Sumberdaya Alam Spasial

sekilas NSDA Spasial Neraca Sumber Daya Alam spasial adalah satu instrumen perhitungan terhadap ketersediaan dan pemanfaatan sumber daya alam dalam satu entitas geografis tertentu yang dimanfaatkan tidak saja untuk mengetahui kondisi eksisting tetapi lebih dari itu digunakan untuk penyusunan kebijakan pembangunan. Neraca sumberdaya alam spasial merupakan pendekatan yang bersifat analisis kualitatif dan kuantitatif tentang potensi sumberdaya alam yang disajikan dalam bentuk peta neraca sumberdaya alam baik digital maupun analog.

Kegiatan penyusunan neraca sumberdaya alam spasial berawal dari sekitar tahun 1990 an saat itu Dewan Riset Nasional (DRN) kelompok II Sumberdaya Alam dan Energi, melontarkan pemikiran tentang perlu adanya evaluasi sebaran lokasi dan posisi yang yang komprehensif terhadap sumberdaya alam Indonesia, menyangkut berapa ketersediaan, yang telah dimanfaatkan, berapa banyak yang tersisa. Pemikiran dan usaha Dewan Riset tersebut sejalan dengan dengan Permendagri Nomor 9 tahun 1982 tentang P5D, yang menyebutkan bahwa dalam upaya pengelolaan SDA secara berkelanjutan disebutkan neraca sumber daya alam agar dimanfaatkan dan sekaligus dikaitkan siklus perencanaan pembangunan daerah. Pemikiran tersebut juga sejalan dengan kegiatan Bakosurtanal yang oleh Bappenas waktu itu diserahi tugas melakukan pemetaan, inventarisasi dan evaluasi sumberdaya alam nasional.

Melalui kerjasama antara BAPPENAS, BAKOSURTANAL, Dewan Riset Nasional Kelompok II dan Departemen Dalam Negeri, dilaksanakanlah lokakarya dan Rakortek Neraca Sumberdaya Alam di Bogor dan Pontianak. Pada tahun 1991 dan berbagai pertemuan berikutnya antara lain : di Bandung tahun 1993, Jakarta 1994, Malang, 1996, Jakarta 2002, dan yang terakhir adalah di Pontianak Kalimantan Barat pada tanggal 29-30 September 2004. Berbagai pertemuan tersebut menghasilkan berbagai kesepakatan antara lain ditetapkannya Buku Pedoman/Petunjuk Teknis Penyusunan Neraca Sumberdaya Alam Spasial Nasional/Daerah yang disusun oleh berbagai Instansi sektoral terkait, yang meliputi : Neraca sumberdaya hutan ( Departemen Kehutanan), Neraca Sumberdaya Lahan (Badan Pertanahan Nasional ), Neraca Sumberdaya air (Departemen Pekerjaan Umum), dan Neraca Sumberdaya Mineral (Departemen Pertambangan dan Energi), melalui koordinasi dengan dengan Bakosurtanal, Departemen Dalam Negeri dan Instansi terkait Lainnya. Selanjutnya, buku pedoman penyusunan NSAS yang telah disusun oleh berbagai instansi sektoral terkait itu, dikukuhkan dalam Standar Nasional Indonesia ( SNI ) oleh Badan Standarisasi Nasional pada tahun 2001.

Tingkat keberadaan sumberdaya alam dipengaruhi oleh berbagai kendala, yaitu a) penyebaran secara geografis yang tidak merata; b) ketergantungan antara sumberdaya alam (lahan, hutan, air dan mineral) dalam satu kesatuan ekosistem; dan c) keberadaan sumberdaya alam sebagai komponen dari suatu ekosistem dalam lingkungan hidup yang mensuplai bahan mentah, diolah menjadi bahan baku dan akhirnya menghasilkan produk atau barang jadi, tetapi juga menghasilkan limbah.

Peraturan perundangan tentang yang terkait dengan neraca sumberdaya alam adalah tengtang pengelolaan lingkungan hidup (UU No. 23 Tahun 1997), penataan ruang (UU No. 26 Tahun 2007) dan juga pemerintah daerah (UU No 32 Tahun 2004) serta perencanaan pembangunan (UU No 25 Tahun 2004).

LANDASAN HUKUM NSASD
Dasar (basic) dari neraca sumber daya alam spasial, adalah menganalisis data spasial dari periode awal yang disebut sebagai aktiva dan periode akhir yang disebut pasiva. Hasil analisis akan menghasilkan data perubahan sumber daya alam baik yang menyangkut luasan maupun penyebarannya.

Saat ini sedang disiapkan revisi petunjuk teknis neraca SDA

PERAN BAKOSURTANAL DALAM PENYEDIAAN PETA RAWAN BENCANA

Oleh: AsepKarsidi dan Mulyanto Darmawan
(Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional)
BADAN KOORDINASI SURVEY DAN PEMETAAN NASIONAL
Jl. Raya Jakarta – Bogor Km 46 cibinong 16911.T/F: 021 875 4592

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarakatuh
Dalam kesempatan yang berbahagia ini, marilah pertama-tama kita bersyukur kepada Allah SWT yang telah menganugerahkan rahmah NYA sehingga kita bisa berkumpul bersama dalam acara “Rapat Fasilitasi Koorinasi Penyiapan Sarana dan Prasarana Penanggulangan Bencana di Daerah.

Tidak lupa salam sejahtera kepada semua pembicara dan peserta yang terhormat yang telah berpartisipasi dalam acara yang penting ini. Semoga Rapat kali ini dapat membuahkan hasil transfer pengetahuan dan kerjasama dalam rangka penyiapan sarana dan prasarana bagi penanggulangan bencana di Indonesia.

Bapak-bapak, ibu berserta tamu undangan yang saya hormati
Pembangunan nasional Jangka Panjang (RPJPN) sebagaimana yang diamatkan undang-undang bertujuan membangun kehidupan berbagsa dan bernegara yang merdeka, mempunyai kepastian hukum, sejahtera, cerdas, mandiri dan berkeadilan sosial dan adil. Tujuan ini akan tercapai apabila sumberdaya alam yang ada di wilayah nasional dikelola secara seimbang dan berkelanjutan (sustainable). Selain sumberdaya alam sebagai modal (resources capital), dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dikenal modal dasar pembangunan lainnya yaitu manusia (human capital), masyarakat (sosial capital ), fisik (physical capital), dan keuangan (finance capital).

Selain tersedianya lima modal pembangunan tersebut, patut juga disadari bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional
Saat ini tuntutan kebutuhan masyarakat baik sosio-economic, pengelolaan lingkungan, maupun minimalisasi krisis sumberdaya sangat tinggi. Pada saat bersamaan pemerintah harus dapat pula menjamin kebutuhan masyarakat akan keamanan, baik keamanan dalam arti tradisional seperti aman dari kelaparan, konflik perbatasan, SARA, terorisme, hingga aman dari bencana.

Kita masih belum lupa akan kejadian gempa bumi berkekuatan 8.7 magnitude skal richter dan tsunami di Aceh dan Nias tahun 25 Desember 2004 yang menimbulkan korban jiwa terbesar dalam sejarah peradaban modern manusia atas korban jiwa bencana alam yaitu sekitar 167.000 jiwa (BRR, 2006) dan bencana gunung merapi di Jogjakarta dan terakhir gempa bumi berkuatan 9 MSR yang menimbulkan tsunami di Fukusima jepang yang menimbulkan korban sekitar 12.000 orang lebih. Kejadian bencana yang kerap terjadi tentunya menimbulkan pula harapan masyarakat akan kenyamanan dari bencana.

Bahwa dalam mengelola sumber daya alam dan sumber daya lainnya serta penanggulangan bencana dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wilayah yurisdiksinya diperlukan data dan informasi.

Sebagaimana diamanatkan dalan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Informasi sebagaimana diamanatkan dalam pasal tersebut termasuk Informasi Geospasial atau informasi keruangan tentang posisi, letak dan lokasi suatu objek atau masalah dimuka bumi yang dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian.

Yang terhormat hadirin, bapak dan ibu sekalian
( Arah kebijakan penanggulangan bencana belajar dari kasus Aceh)

Sebelum berbicara tentang kebijakan penyediaan IG dalam hubungan dengan penyelenggaraan penanggulangan bencana, kita akan bahas sekilas tentang bencana dan kebijakan pengelolaan bencana secara umum.

Pengertian bencana menurut UU No 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Jadi bencana (disaster) disebabkan oleh faktor alam dan non alam yang umumnya karena ulah manusia. Lebih jauh kejadian bencana apabila tidak mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat berarti bukan bencana seperti proses longor alamis yang terjadi di tengah laut atau banjir ditengah hutan dalam istilah teknis dikatakan sebagai hazard.

Bencana akan selalu terjadi, namun demikian perhatian harus lebih diarahkan pada upaya pengurangan resiko bencana berupa manajemen resiko bencana, kepedulian dan riset dan pengembangan teknologi bidang kebencanaan. Pengurangan resiko bencana adalah terobosan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan dan merupakan elemen penting keterlibatan bangsa Indonesia dalam pencapaian tujuan pembangunan secara internasional, yaitu tujuan yang tercakup pada tujuan pembangunan milenium.

Hadirin, bapak dan ibu sekalian yang terhormat,
( Arah kebijakan Penyediaan Informasi geospasial dalam penanggulangan bencana)

Baik hazard ataupun disaster keduanya melibatkan unsur atau karakteristik fisik seperti geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, ataupun non fisik seperti sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah dan jangka waktu tertentu. Sehingga kerawanan bencana biasanya ditentukan dari aspek fisik dan non fisik dengan mempertimbangkan aspek kerentanan daerah. Kedua unsur fisik dan non fisik tersebut dengan bantuan teknologi sistem informasi geografis dan penginderaan jauh pada dasarnya dapat dipetakan untuk memudahkan penyusunan pemetaan kerawanan bencana.

Arah kebijakan penyediaan peta dasar dan tematik yang selanjutnya disebut sebagai Informasi Geospasial (IG) dapat dilihat dari Rancangan Undang Undang Informasi Geospasial , pasal 17 (1,2,3); pasal 23 (3), 24 (1,2) dan 52, intinya yaitu :

(1) Menjamin ketersediaan dan akses IGD
(2) Mewujudkan pneyelenggaraan IG yang efektif dan efisien
(3) Mendorong penggunaan IG dalam berbagai pemerintahan dan aspek kehidupan masyarakat
(4) IG diselenggarakan dan dimutahirkan secara bertahap dan sistematis untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wilayah yurisdiksinya
(5) Dalam hal terjadi bencana alam, perang, pemekaran atau perubahan wilayah administratif, atau kejadian lainnya yang berakibat berubahnya unsur IGD sehingga mempengaruhi pola dan struktur kehidupan masyarakat, pemutakhiran IGD harus dilakukan tanpa menunggu pemutakhiran secara periodik
(6) Instansi pemerintah dan pemerintah daerah dapat bekerjasama dengan Bakosurtanal dalam pembuatan peta rawan bencana (peta tematik)
(7) Bakosuranal mengintegrasikan satu atau peta tematik untuk tema baru spt peta rawan bencana
(8) Untuk keperluan penanggulangan bencana, setiap orang harus memberikan IGT yang dimilikinya apabila diminta oleh Instansi Pemerintah atau Pemerintah daerah yang diberi tugas dalam urusan penanggulangan bencana.

Yang terhormat hadirin, bapak dan ibu sekalian
( Manfaat dan Peran IG dalam penanggulangan bencana)

Beberapa manfaat dan peran IG dalam penanggulangan bencana belajar dari kasus support BAKOSURTANAL selama pelaksanaan masa tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi NAD-Nias (2005-2009), bencana gempa di padang (2009), Meletusnya gunung merapi Jogjakarta (2010) yaitu :

1. Pembangunan Infrastruktur geospasial Propinsi wilayah bencana
2. Melengkapi pemetaan dasar wilayah bencana
3. Melengkapi pemetaan SDA&L darat, lautt serta pemetaan tematik sektoral
4. Penyusunan database geospasial
5. Dukungan Aplikasi Sistem Informasi geografis
6. Servis dan Pelayanan data geospasial

Pembangunan Infrastruktur Data Spasial Propinsi (IDSN) wilayah bencana
Dalam konsep pembangunan IDSN yang menjadi komponen utama peningkatan capacity building adalah aspek kelembagaan, peraturan hukuum dan perundangan, data utama, sumberdaya manusia serta kegiatan penelitian dan pengembangan.
Kelima komponen tersebut saling terkait ada data tanpa manusia maka lama akan ditinggalkan pengguna karena tidak data menjadi tidak terbaharui. Sebaliknya tanpa kegiatan penelitiand an pengembangan mesti ada data, maka manusianya menjadi tidak kreatif dan produktif dan sebagainya.

Melengkapi Pemetaan Dasar dan tematik

Untuk membangun wilayah-wilayah yang hancur akibat bencana, berbagai upaya penyediaan peta dasar wajib dilakukan oleh pemerintah. Pendanaan dapat dilakukan melalui pemanfaatan pendanaan multi donor, sebagaimana yang dilakukan di Aceh antara Bakosurtanal dan pemerintah Norwegia dan Australia dalam pemetaan rupabumi sekala 1;10.000 atau BPN dengan World bank dalam program RALAS (Reconstruction of Aceh Land Administration System).

Dengan memanfaatkan ketersediaan data dasar, organisasi lain dapat melakukan penyusunan pemetaan tematik seperti penyusunan perencanaan tata ruang, peta rawan bencana dan peta tematik lainnya.

Penyusunan Database geospasial

Hampir setiap sistem aplikasi selalu melibatkan basis data didalamnya. Basis data adalah koleksi dari data yang terorganisis sedemikian rupa sehingga mudah disimpan, dimaipulasi dan dipergunakan kembali (Date, 2004) .
Basis data yang baik menjamin pengelolaan pekerjaan menjadi lebih baik. Basis data biasanya pula berhubungan dengan metadata yaitu data yang menjelaskan informasi data. Menurut Nugroho (2004) metadata geospasial berarti kumpulan data (dataset) yang berisi informasi tentang data geospasial baik sumber (citation), pemilik (owner), struktur, aturan, batasan dan pembuat (custodian). Biasanya metadata yang dibangun dibuat dengan standard FGDC (Federal Geographic Data Committee).
Basis data geospasial yang membedakan dengan basis data lainnya adalah berupa adanya informasi geografis baik berupa batas koordinat maupun sistem proyeksi. Salah satu contoh basis data yang baik dan sistematis adalah peta rupabumi Indonesia (RBI). Setiap objek RBI diklasifikasikan menjadi beberapa layer dan masing-masing layer memiliki kode unsure, nama dan simbol tertentu.

Dukungan aplikasi sistem informasi geografis dan servis data geospasial
Dalam penanganan bencana kita mengenal tahapan sebelum bencana, masa tanggap darurat dan masa recovery. Pada masa sebelum bencana, mitigasi dan persiapan umum biasa dilakukan untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya bencana baik berupa penyiapan peraturan, perencanaan yang baik, pengelolaan gedung dan landuse, maupun pembangunan sistem peringatan dini.

Pada masa tanggap darurat, ketersediaan informasi geospasial sangat berarti. Tanggap darurat adalah tindakan pada saat terjadi bencana, berupa koordinasi, pencarian dan penyelamatan (search and rescue), pendugaan kerusakan dan minimalisir kehilangan dari kemungkinan bencana susulan. Menon (1996) menyatakan bahwa pada pada masa darurat penanganan bencana (emergency respon) bantuan yang diperlukan adalah 10% telekomunikasi, 20% operasi dan 70% informasi.
Pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi informasi geospasial memainkan peran yang seimbang dan pendukung kegiatan pembangunan dan perbaikan fisik, lingkungan dan sosial.
Yang terhormat hadirin, bapak dan ibu sekalian
( Peluang kerjasama dengan daerah)

Salah satu Peran pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana sebagaimana diamatkan UU kebencanaan adalah adalah menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana.
Beberapa peluang kerjasama yang dapat dilakukan adalah
1. Pertukaran (Sharing) data geospasial
2. Kerjasama penyusunan pemetaan rawan bencana

Geospatial data sharing
Aplikasi desktop populer seperti google eart dan google maps, yahoo maps tekah memberikan kontribusi yang sangat pentinag akan kesadaran public untuk mengakses dan membagi (share) informasi data satelit dan peta dijital terkait kondisi permukaan bumi. Fenomena ini memberikan ide dan peluang tentang pembangunan infrastruktur jaringan untuk saling tukar menukar data geospasial untuk kepentingan masyarakat dan kepentingan nasional.

Penyusunan peta Rawan bencana
Berbagai metodologi pemetaan rawan bencana dengan menggunakan GIS (geographic Information System) saat ini banyak dilakukan baik oleh instansi pemerintah mapun organisasi non pemerintah (Ornop) nasional dan internasional. Untuk meningkatkan kemampuan peran pemerintah daerah dalam menyiapkan peta rawan bencana, maka kerjasama dalam hal penyusunan peta rawan bencana sangat diperlukan. Kerjasama diharapkan tidak hanya pada melahirkan konsep-konsep kebencanaan seperti dokumentasi metodologi, penyusunan SOP, dan petunjuk teknis namun juga action plan untuk pemetaan multi rawan bencana.

Yang terhormat hadirin bapak dan ibu
Dapat kami simpulkan beberapa hal yaitu

Arah kebijakan dalam penyediaan data dasar dan tematik dalam hubungannya penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia secara umum termuat dalam RUU IG.
Data geospasial memainkan peran yang sangat penting dalam penanggulangan bencana baik pada saat sebelum bencana, massa tanggap darurat, maupun masa pemulihan baik dalam hal penyediaan data dasar dan pembuatan peta rawan bencana
Peluang kerjasama dengan pemerintahd aerah dilaksanakan dalam kerangka nasional peningkatan peran dan implementasi program IDSN.

Terima kasih atas perhatian anda

Cibinong 16 April 2011