GAM dalam Pandangan orang Awam
Belum lama dalam kesempatan berlibur bersama keluarga di Pulau Rubia, Sabang, saya bertemu dengan Muzakir Manaf, mantan Panglima Perang Gerakan Aceh Merdeka (GAM), salah satu tokoh yang paling dicari-cari tentara selama konflik. Sekilas tidak ada kesan seorang mantan kombatan (sebutan tentara di GAM) darinya, bahkan boleh dibilang dengan wajahnya yang tampan, bicaranya halus dan sopan lebih mengesankan bila dia seorang fotomodel atau pemain sinetron. Saya sempat bicara yang ringan-ringan cukup lama dengannya. Meski agak menyesal juga kenapa tidak sempat berfoto bersama. Karena saat itu Saya tidak ingin mengganggu privasinya apalagi sekedar ingin berfoto. Dia sempat heran kenapa saya bisa mengenalnya. Saya katakan supir rental dan guide yang mengatakan kepada saya. Selain itu siapa yang tidak mengenal dia saat ini di Banda Aceh, banyak tulisan tentang dia, kebetulan pula saya beli beberapa buku sekitar konflik Aceh yang banyak menyebut namanya. Saya pernah juga melihatrekaman vidionya sewaktu masih aktif gerilya di hutan-hutan di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Beberapa diantara mereka ada juga yang agak kampungan, pernah sekali waktu rumah saya dititipi salah seorang kombatan GAM. Karena dia baru saja datang dari Pidie dan diterima bekerja, tetapi tidak punya tempat tinggal. Dia menempati kamar di lantai atas lengkap dengan kamar mandi, lemari dalam dan pendingin ruangan (AC). Malam hari datang kawan-kawannya sekitar 5 orang, mereka bertanya dimana si “AGAM”, saya bilang di atas, langsung mereka naik ke atas tanpa ucapan terima kasih atau basa-basi bicara dengan saya sebagai tuan rumah. Rupanya semalaman si AGAM tidak bisa tidur, dia kedinginan dan menanyakan cara matikan AC. Si AGAM sempat tinggal sekitar 1 minggu di rumah saya. Dia tidak pernah bicara sepatah katapun ke saya karena memang kami jarang ketemu. Akhirnya dia mendapat rumah kontrakan dan pindah. Saat pindah malam hari, itu pundia tidak bertegur sapa. Belakangan kami bertemu, rupanya dia lebih dulu mengenali saya, saya sendiri sudah lupa wajahnya karena hanya bertemu malam hari. Dia minta maaf karena waktu itu tidak sempat pamit, dia tidak ingin mengganggu saya dikamar karenanyadia pergi begitu saja. Pertemuan inipun tidak sengaja, saat itu supir saya berhalangan, dan dia dikirim sebagai supir pengganti oleh kantor. Setelah beberapa kali bertemu saya mulai mengenalnya, ternyata dia tidak seperti yang saya bayangkan, boleh dibilang dia terlalu lugu. Sekarang kami sering bincang-bincang disaat dia mengantar saya ke suatu tempat pertemuan. Rupanya dia cukup rajin ke mushola kami sering bertemu sesudahnya.
Saya lihat ada beberapa kelompok di GAM, yaitu kelompok yang sangat alim dan taat menjalankan ibadah juga pandai berdakwah. Saya kenal beberapa diantara mereka aktif di BRA (Badan Reintegrasi Aceh). Mereka umumnya masih sangat dekat dengan kehidupan munasah (mushola di kampong), pesantren (dayah). Umumnya mereka menyambut gembira dengan diperlakukannya Aceh sebagai daerah khusus dan diterapkannya syariat Islam. Rata-rata mereka juga tidak pernah membunuh selain tentara selama konflik, sebaliknya harta benda mereka ludes karena konflik. Mereka sangat ramah terhadap saya. Kami biasa ketemu di masjid selepas bekerja, bahkan kami bermain badminton bersama selepas kerja.
Kelompok ketiga, adalah mereka yang kecewa karena diperlakukan tidak manusiawi. Mereka menyaksikan sendiri orang tua, anak, istri dan saudara mereka dibunuh, diperkosa atau hilang. Harta merekapun habis dibakar selam konflik. Mereka inilah kelompok yang punya rasa dendam dengan tentara, pemerintah pusat dan orang dari luar. Umumnya mereka kurang berpendidikan. Dengan adanya perjanjian perdamaian mereka hanya berharap dapat hidup normal, dan dapat pekerjaan. Basis idiologi agama lemah dan kepentingan politis tidak ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar