Selasa, Februari 05, 2008

Promosi Budaya dan Agama

Waktu mengikuti undangan sebuah workshop di Kyoto beberapa waktu lalu saya bertemu beberapa rekan semasa kuliah di Jepang. Kami masih saling menjaga komunikasi lewat email sehingga begitu mendengar saya datang ke Jepang, spontan beberapa diantara mereka menyempatkan diri menjemput saya di stasiun Tokyo begitu saya berniat ingin sejenak main keTokyo. Kami berjalan-jalan seputar kota Akihabara yang sedikit banyak berubah dan makan malam bersama. Hal yang luar biasa setelah lama kami bergaul, mereka makin mengerti dan tahu apa itu indonesia dan paling tidak mencoba mencari tahu mulai dari warna bendera, bahasa, agama, sampai jenis SIM mobil. Terkadang saya merasa menjadi pelopor deh….promosi “budaya dan agama” di Jepang.

Tetapi ada pengalaman yang paling tidak mengenakkan, khususnya setelah peristiwa bom di Bali 12 Oktober 2002 lalu. Peristiwa tersebut seperti merusak apa yang sudah saya dan mungkin teman-teman lain lakukan secara alami, sekaligus pula merusak konsentrasi dalam pergaulan internasional. Paling tidak, awalnya saya yang begitu semangat mempromosikan wajah ke-Indonesiaan, begitu kejadian bom Bali segalanya berubah. Promosi “budaya dan agama” menjadi sesuatu perbuatan yang tidak mengenakkan. Terlebih disaat harus mengatakan watasino syusin wa Indonesia desu (I came from Indonesia).

Sudah menjadi legenda umum di Jepang, bahwa predikat yang begitu pasti tentang indonesia adalah Bali dan muslimnya (termasuk adanya tsunami juga terkait muslim mengingat aceh dikenal sebagai wilayah serambi Mekah dan satu-satunya propinsi yang menerapkan syariat islam secara bertahap). Kedua terminologi tersebut, sudah menyatu dengan indonesia. Bali karena wisatanya yang sudah mendunia dan muslim karena mayoritas agamanya yang paling banyak didunia.

Kenapa tidak mengenakkan? pernah suatu kali kami sekitar 6 orang, sama-sama pergi kesebuah kebun anggur dan pemandian air hangat (onsen) terkenal di jepang yaitu di Isawa, di kaki gunung Fuji, Propinsi Yamanashi. Kami bertemu dengan pemilik kebun anggur yang sangat ramah menyambut kami. Rupanya pemilik kebun itu belum pernah mengenal ataupun didatangi orang Indonesia. Saat beramah tamah kerumahnya, dia berkata akan mencari tahu tentang Indonesia demikian pula beberapa orang yang saya temui dirumah itupun berkata hal yang sama. Menjadi kebiasaan orang Jepang untuk menyajikan sake (minuman keras tradisional jepang) buatan mereka sendiri kepada tamunya. Namun dengan sangat menyesal saya tidak bisa meminumnya. Mereka akhirnya mendengar penjelasan langsung tentang Indonesia dan perilaku muslim yang tidak minum alkohol dari saya secara tidak langsung. Setelah kembali ke Tokyo, besoknya terjadi bom Bali yang mengguncang dunia. Seketika saya terbayang wajah ojisan-ojisan (panggilan orang tua-tua di jepang) saat itu, begitu mencarikabar Indonesia lewat internet atau berita yang didengar adalah adanya BOM di Bali dan dugaan pelakunya teroris yang di kait-kaitkan dengan islam. Dia, yang begitu semangat berbincang tentang Indonesia dan gembira menyadari kebunnya didatangi orang Indonesia dan berfoto bersama, termasuk melihat rekan wanita muslim dari indonesia dengan busana yang belum pernah dia lihat (jilbab). Akibat bom Bali, saya tidak tahu bagaimana ekspresi dia …..entahlah apakah keinginanannya untuk mengetahui lebih jauh tentang indonesia akan sirna setelah ini...

Bagaimanapun, tak bisa diingkari keberadaan kita dijepang atau negara manapun juga mewakili budaya bangsa dan agama. Apapun perasaan kita akan indonesia (benci, sebel, kesel dsb) selama masih berwajah asia-indonesia, maka tetap saja status ke-Indonesiaannya masih dominan dimata orang luar. Demikian pula seperti apapun tingkah kita di luar, selama masih asia-Indonesia apalagi berlebel muslim masih saja predikat muslim akan melekat. Wajar bila kadang rekan saya "bertanya...hei kenapa kamu gak minum sake atau bir tapi dia minum bukankah kalian sama-sama muslim". Atau gurauan seperti, " kau seperti osama (tuhan atau orang suci) saja..begitu melihat kau si fulan (menyebut salah seorang mahasiswa lain) jadi tidak minum".

Makanya terkadang saya, geleng kepala dan tersenyum geli, ada beberapa rekan mahasiswa Indonesia di Jepang, yang terkesan begitu sebelnya dengan yang berbau indonesia sampai-sampai tulisan dan omongannya banyak miring tentang indonesia di luar. Bahkan gaya hiduppun bebas, minum wine, bir, halal-haram makan tidak peduli. Bukankah itu sama saja di menceritakan kejelekan dirinya sendiri.

Demikian pula, orang indonesia yang mencoba mengikuti gaya semua hidup orang jepang -terlebih bila mereka memang muslim- tanpa melihat baik buruknya perbuatan tersebbut, sampai-sampai tak peduli lagi akan halal- haramnya makan dan minuman atau mencontoh gaya rambut yang penuh warna warni, bukankah itu sama saja menipu mereka dan merendahkan diri sendiri. Bahkan salah seorang mahasiswa Indonesia yang saya tahu di jepang larut dalam kehidupan seperti yang saya ceritakan di atas, saat ini menjadi anggota DPR RI pusat mewakili partai islam (Partai Bulan Bintang?). Mudah-mudahan memang dia sudah tobat...mesti sempat juga mengucap Masyaallah, Astagfirulloh..tidak ada lagikah orang baik di negeri ini??

Tulisan ini bukan berarti menyatakan bahwa semua budaya mereka jelak, budaya membaca atau kerja keras adalah contoh yang baik dan perlu ditiru dari bangsa Jepang, karena kedua budaya tersebut banyak memberikan kemajuan buat siapa saja yang menerapkannya.

Melihat wajah Indonesia yang sedang pucat saat ini, ditambah dengan perhatian dunia, kalau tidak ingin dikatakan sebagai tekanan,atas berbagai peristiwa belakangan ini, ditambah tak terlihatnya gregret perbaikan oleh pemegang amanah pemerintah saat ini, sepertinya tak ada lagi yang patut di banggakan dari budaya bangsa ini kecuali kebanggan agama.

Hanya problemnya apakah benar agama dan bangsa berkaitan....

Tidak ada komentar: