Rabu, Desember 31, 2008

Remote sensing dan Rawan Banjir

Teknologi remote sensing (penginderaan Jauh) sebagai sarana penyedia data dan informasi dewasa ini telah berkembang sangat pesat. Pemakaian citra satelit resolusi tinggi telah menggantikan cara-cara konvensional dalam hal inventarisasi dan evaluasi sumberdaya alam serta pemantauan lingkungan dan perencanaan pengambilan keputusan. Pesatnya perkembangan teknologi ini tentunya sangat menguntungkan bangsa Indonesia terutama dalam menyiapkan sistem informasi kerawanan bencana, khsusunya banjir...

Indonesia sebagai Negara yang ter;etak sepanjang garis khatulistiwa, memiliki musim hujan dna musim kemarau yang tegas. Keberadaan musim tersebut setiap waktu dan tempat berbeda. Wilayah Indonesia Barat memiliki musim hujan atau bulan basah cukup banjyak, mencapai 10 bulan, bahkan kota Bogor terkenal sebagai kota hujan karena tidak terdapat bulan kering. Sementara wilayah Indonesia Timur memiliki bulan basah yang selatif sedikit dari bulan kering, bahkan pada wilayah Nusa Tengara bulan basahnya kurang dari 4 bulan. Banyaknya bulan basah dapat dijadikan indikasi banyaknya kejadian banjir pada daerah tersebut.

Penyebab banjir umumnya karena curah hujan yang tinggi. Banjir dapat pula disebabkan oleh pasang surut air laut dikenal sebagai banjir ROB atau bobolnya tanggul sungai atau bendungan.

Air hujan yang turun pada suatu daataran akan mengalir kedataran yang lebih rendah dengan menghanyutkan partikel-partikel tanah dan berbagai jenis polutan. Jika Volume air yang mengalir melebihi kapasitas daya tampung air pada dataran rendah, maka dapat dipastikan banjir. Kasus seperti ini dapat dijumpai di beberapa pelosok daerah di JABODETABEK.

Pasang surut air laut menimbulkan gelombang besar di sungai dan meluap pada daerah sekitarnya. Kasus ini banyak dijumpai pada daerah-daerah sekitar sungai besar di Sumatera, Kalimantan dna Papua dengan areal genangan bisa mencapai ratusan kilometer. Apabila debit air sungai terlalu besar akibat intensitas hujan tinggi dapat menyebabkan bobolnya bendungan sehingga menimbulkan banjir, seperti kasus banjir di kota Semarang, atau Bojonegoro.

Kasus-kasus banjir di wilayah Indonesia mempunyai karakteristik berbeda sperti: banjir di Sumatera Utara (Medan) terjadi akibat luapan sungai yang melebihi debitnya. Banjir di Padang dan Bengkulu sebagai akibat perpaduan antara gelombang laut dan sungai-sungai disekitarnya yang meluap. Banjir di Jambi dan kota-kota di Jawa Tengah akibat meluaonya sungai Batanghari dan Bengawan Solo akibat intensitas hujan yang tinggi. Banjir di Lampung disebabkan oleh berkurangnya daya resap tanah didaerah hulu akibat perusakan hutan.

Banjir yang menggenangi dataran rendah biasanya cepat menyusut apabila jenis tanahnya mempunyai aggregate mantap dan drainasi baik. Sementara banjir akibat meluapnya air sungai akibat pasang surut memerlukan waktu penurunan air lebih lama, karena biasanya tanah-tanah pada wilayah pasang surut berdrainase buruk.

Karakteristik banjir pada suatu daerah dapat difahami dari bentuk lahan (kondisi geografi), keadaan topografi, jenis tanah, jenis penggunaan lahan dan keadaan penutup lahan. Debit maksimum dapat pula ditambahkan sebagai faktor yang menentukan untuk pendugaan banjir pada suatu kawasan. Sebagai besar factor yang mempengaruhi debit maksimum dapat dipantau melalui citra satelit ataupun foto udara, seperti pola penggunaan lahan, kondisi hutan, bentuk lahan, jenis lereng, pola alur sungai, dan proses geomeorfologi. Sementara factor lainnya seperti sifat fisik tanah tanah dan curah hujan dapat dilakukan pengamatan secara langsung melalui survei multi tingkat (multi stage survey).

Remote sensing dapat diartikan sebagai cara memperoleh informasi dari objek atau gejala di atas muka bumi secara tidak langsung. Saat ini bahkan beberapa jenis citra penginderaan jauh dapat mengambil informasi beberapa meter di bawah muka bumi.

Pemanfaatan citra satelit untuk pemantauan banjir dilakukan melalui pendekatan geografi dan lingkungan yang bersifat makro dan synopsis, sehingga memberikan gambaran yang jelas dan menyeluruh tentang areal banjir.

Kondisi geografi dan lingkungan yang dapat dipantau lewat citra satelit meliputi: bentuk lahan, keadaan topografi, luas daerah aliran sungai (DAS) termasuk luas areal banjir, vegetasi penutup lahan terutama hutan.

Bentukan lahan memberi gambaran tentang daerah-daerah sasaran banjir, seperti rawa belakang (back swamp), danau tapal kuda (Oxbow lake), dan dataran banjir (flooded plains) merupakan daerah rawan banjir akibat meluapnya air sungai. Sebaliknya dataran antiklinik, dataran perbukitan dan bentukan asal denudasional merupakan daerah bebas banjir tetapi keadaanya dapat menjadi sebab banjir pada dataran rendah di bawahnya, akibat rusaknya sistem tata air dan jenis tanah yang peka terhadap erosi.

Tipe tanah yang dominan peka terhadap erosi, biasanya berasal dari tanah-tanah yang baru berkembang. Topografi bergelombang serta lereng curam menyebabkan timbulnya banyak tanah longsor dilereng-lereng pegunungan dan genangan banjir pada dataran rendah.

Kondisi hutan yang rusak akibat illegal logging, perladangan berpindah, konsesi dan konversi hutan menyebabkab rusaknya tata air tanah dan turunnya produksivitas lahan sehingga menimbulkan kerawanan banjir pada musim hujan.

Faktor-faktor yang digambarkan di atas dapat dipantau dengan bantuan teknologi penginderaan jauh untuk menentukan variabilitas informasi banjir. Informasi yang didapat pada tahap awal berupa luasan areal yang kena banjir ataupun areal yang potensial banjir. Selanjutnya dapat pula diketahui kualitas air banjir (menyangkut tingkat kekeruhan, kandungan Lumpur, dan debit banjir) dan terakhir penyebab utama banjir pada suatu daerah, pendugaan areal yang paling parah terkena dampak banjir dan membutuhkan penyelamatan segera…

Tidak ada komentar: