Selasa, Januari 29, 2008

interaksi sosial

Cukup puas juga saya bisa mengikuti beberapa kali pertandingan badminton di kantor Bappeda, meski saya tidak terlalu baik dalam bermain. Kepuasan saya bukan karena bisa bermain badminton yang notebene mewakili satuan kerja saya di BRR atau ditonton beberapa orang yang selama ini tidak menyangka saya juga menyukai olah raga, bukan itu melainkan, saya baru mengerti beberapa hal tentang teman2 di Aceh khususnya tentang Agam (baca orang muda aceh).

Pertama, ternyata kehidupan Agam tak bisa lepas dari kopi dan rokok. Di Kota Banda Aceh terdapat kedai kopi khusus untuk mereka dan sangat terkenal, yaitu kedai kopi “Chek Yuke”. Bahkan BRR pernah memboyong kedai chek yuke sebagai stand kopi dalam sebuah seminar di Jakarta. Kedua, dalam kehidupan beragama, agam umumnya tidak suka dikatakan tidak tahu agama atau diberi nasehat tentang ibadah praktis, meski dalam prakteknya sering dijumpai mereka lalai dalam sholat ataupun sholatnya tidak benar. Ketiga, ternyata Agam sangat sensitif dan tertutup dengan orang luar terutama pendatang dari Jawa. Sehingga boleh dibilang agak sukar menjalin komunikasi atau keakraban dengan agam, sebelum mereka mengenal betul tentang kita.

Saya coba bandingkan dengan anak-anak muda dari jepang (nihonjin) yang pernah saya kenal waktu lalu. Pertama, ternyata kehidupan nihonjin tak bisa lepas dari yakyu, sake, bir dan susi. Kedua, dalam kehidupan beragama, nihonjin umumnya lebih suka dikatakan tak beragama atau tak percaya tuhan ataupun bila memilih agama ya pilihannya lebih tertarik ke kristen daripada ke islam atau agama lain. Yang ketiga, ternyata Nihonjin suka juga bergunjing termasuk juga berbasa-basi memuji seseorang, terlebih saat makan bersama

Bagi Agam, kopi di kedai seperti menjadi bagian sendiri shedule harian mereka boleh dibilang tiada hari tanpa kopi. Dalam satu hari bisa lebih dari 5 kali meski barangkali di rumah juga sudah ngopi. Lewat ngopi mereka menemukan dunianya, bebas bercerita, bergunjing dan membicarakan bisnis antar mereka. Bahkan di kedai kopi dengan ramahnya mereka menyapa kita dan memulai pembicaraan, yang barangkali akan terasa aneh kalau itu dilakukan diluar kedai kopi. Sepertinya menemukan kepercayaan diri dengan ngopi.

Bagi Nihonjin, lewat bir mereka menemukan keberanian dan kepercayaan diri yang luar biasa. Nihonjin yang mabuk, dengan seketika secara ringan ceplas-ceplos bahasa inggris dengan setiap orang asing. Setiap orang asing yang dimata mereka orang Amerika-sama halnya kebanyakan orang indonesia, bila melihat bule maka disangka mereka orang barat, padahal boleh jadi orang rusia atau ornag eropa timur. Dalam keadaan sadar, sangat jarang mereka berbicara bahasa inggris sama seperti belajar berkicaunya seekor karasu (gagak hitam). Lidah terasa kaku kalau bicara bahasa inggris atau ketemu orang asing, ini menurut pengakuan Kato kun (yunior saya waktu kuliha). Wajar mereka butuh banyak bir. Bir telah menjadi minuman utama, mesti dalam berolahraga sekalipun, Iklan coca-cola di jepang menjadi,” dimana saja, kapan saja dan siapa saja minum bir”. Sake (bir Jepang) sebagai minuman pamungkas, dan susi (ikan mentah plus sedikit nasi) sebagai penambah selera dan yakyu (olah raga softball) sebagai spiritnya. Sehingga wajar penutupan yakyu atau wakarekai konpa (pesta perpisahan), susi dan bir tersaji melimpah.

Bagi Agam, sangat jelas mereka adalah orang islam dan hampir tidak yakin ada Agam yang punya agama di luar Islam. Mereka bangga dengan banyaknya dayah (pesantren) di pelosok kampung dan membanggakan diri bahwa mereka tinggal di serambi Mekah. Mereka tidak suka melihat wanita tidak mengenakan pakaian muslimah atau lelaki mengenakan celana terlalu pendek, karena dianggap tidak menutup aurat. Bahkan sebagian mereka sangat fanatik menyatakan sebagai keturunan said (keturunan nabi) ataupun keturunan Turki (karena dikaitkan dengan sistem kekhalifahan). Padahal seringkali mereka sholat tidak berjamaah.

Bagi nihonjin , mereka tak melihat beda prinsip antara jadi orang kristen dan jadi orang jepang, di kristen merekapun masih mendapatkan kebebasan minum bir, bahkan lewat pergaulan dengan rekan seagamanya makin bertambah pengetahuan mereka akan minuman beralkohol. Coba tanya berapa persen orang jepang yang tahu bahwa di Brasil (negaranya Ronaldo) ada sake lokal (baca sake-Brasil yang alkoholnya 40%, di Nepal semodel sake lokal alkoholnya lebih tinggi lagi sampai 50-60%, belum lagi di argentine, boleh dibilang sebagian besar nihonjin tahu tentang ini sampai profesor (sensei) saya menyimpan sisa minuman yang tak habis diminum dari berbagai negara.

Bagi nihonjinn, mereka melihat betapa mendoksainya (repot) jadi penganut Shinto, karena menurut Maika san (masih yunior saya yang dulunya penganut setia), tiap hari dia harus menyediakan sake ke patung sebagai tanda terima kasih, padahal dia ingin juga meminum sake tersebut. Belum lagi aturan-aturan lainnya seperti pesta perkawinan, menurut Hideki Saito san, kawan kerja saya di kenkyujo (lembaga penelitian) trend ABG jepang sekarang mereka lebih suka hidup bersama tanpa nikah, karena, siapapa yang bersedia membayar sampai 500 mank (1 mank setara dengan 10 000 yen) untuk sebuah perkawinan secara Shinto dalam situasi ekonomi krisis seperti ini. Sebagian lain memilih cara kristen, meski belum tentu beragama Kristen karena menawarkan paket murah antara 100-200 mank.

Tentang kebiasaan bergunjing dan memuji baik Agam dan nihonjin hampir tiada bedanya. Ternyata gosip juga sudah seperti bagian dari informasi yang mereka serap. Sudah hal umum kalau sebenarnya mereka suka bercerita tentang kabar yang sampai ke mereka tentang orang luar sambil minum bir atau kopi.

Nah tentunya banyak lagi pelajaran-pelajaran yang memuat pencerahan lain yang tak sanggup saya uraikan, Cuma lalu relevansinya kemana Antara nihonjin dan Agam. Gampangnya begini, waktu tinggal di Jepang saya selalu berfikir bila ingin dekat dengan orang jepang atau ingin mereka manjadi bagian terdekat kita maka saya benar-benar harus dipertimbangkan langkah seperti:
  1. Belajar olah raga yakyu, gemar makan susi dan jangan menolak bila ditawari minum bir, atau sake dalam setiap konpa.
  2. Katakanlah kepada mereka, bahwa islam tak melarang mereka minum alkohol mesti mereka jadi muslim. Ajak mereka ke islam dengan menekankan kalau mereka sebenarnya masih diperbolehkan minum bir, atau sake karena sekali lagi mereka nihonjin. Mereka sendiri lah yang menentukan kapan berhenti minum, bukan kita. Bukankah Nabi tidak menyuruh seorang yang kebiasaannya mencuri untuk berhenti mencuri saat yang bersangkutan tertarik masuk islam. Hanya nabi berpesan “jangan berbohong”. Lagipun turunnya pelarangan minuman beralkohol tidak seketika, melainkan bertahap. Akan tetapi perlu juga diingat perkataan Syaidina Umar, didepan orang-orang yang minta diperioritaskan dalam berislam, bahwa dahulu saat lemah islam membutuhkan kalian, sekarang islam sudah jaya dan kalianlah yang butuh islam “.
  3. Janganlah merasa lebih pandai dari orang Jepang atau mengunjingka mereka, karena mereka akan menilai bahwa nanti bakalan digunjing oleh kita, tapi ikuti saja gunjingan mereka sambil menikmati santapan yang tersedia.
  4. Bersikap sopanlah dengan mereka Nihonjin dikenal sebagai bangsa sopan dan pemalu. Konon, kesopanannya melebihi orang Jawa, dan saking malunya nihonjin tak berdaya dimata orang Amerika. Lepas dari akibat PD II, hanya jepanglah yang diminta menanggung biaya oprasional ke 7 pangkalan militer Amerika, mulai dari Okinawa (Selatan) hingga hokaido (utara), sementara di negara lain Amerika tiap tahun berdebat tentang besarnya uang sewa. Wajar bila kawan saya Itokazu (kelahiran okinawa) sangat anti Amerika, katanya biaya operasional pangkalan tersebut lebih besar dari anggaran pemerintahan jepang sendiri pertahunnya.

untuk Agam saya masih punya waktu untuk memikirkannya...

1 komentar:

gatothp mengatakan...

selamat Mas atas dipublihnya blognya. saya yakin banyak manfaatnya buat orang lain. -gatot pramono