Rabu, Januari 30, 2008

Pemetaan Sumberdaya Alam

Perlukah Pemetaan Ulang Neraca Sumberdaya Alam Indonesia

Saat kerja bakti pemasangan lampu kompleks perumahan, saya melihat tetangga sebelah rumah melintas beberapa kali dengan sepedanya. Rupanya dia sudah beberapa kali bolak Cibinong-Cikaret (kurang lebih 7 km) hanya untuk antri mendapatkan jatah minyak tanah 2 liter. Sementara menurut dia kebutuhannya biasa sampai 5 liter perhari. Dia sedikit kesusahan karena program konversi minyak ke gas belum lagi dikampanyekan ke wilayah Cibinong (baru sekitar depok) dan dia tidak punya cukup dana untuk membeli tabung gas. Sedih juga saya mendengarnya. Rupanya kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) sampai kini masih terjadi di beberapa wilayah Indonesia. Bahkan terkesan makin parah. Padahal Presiden SBY dan Pertamina sudah menghimbau masyarakat untuk tidak panik dan menjamin akan segera teratasi, namun setiap akhir tahun antrian panjang pembeli BBM di beberapa daerah masih terlihat dan masih dibatasinya jatah BBM yang diterima setiap Stasiun Pegisian Bahan bakar Umum (SPBU). Hampir setiap tahun masalah kelangkaan BBM selalu terjadi dan bahkan Indonesia pernah terancam dikeluarkan dari organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) akibat import BBM yang melebihi produksinya.

Sejalan dengan kelangkaan BBM, produksi kayu Indonesia pun makin merosot. Kayu yang sempat menjadi andalan devisa Indonesia ke dua setelah minyak mulai menunjukkan kelangkaan sejak periode tahun 1990. Akibat over-eksploitasi dan illegal logging hutan tropis Indonesia sejak1980 telah menghasilkan degradasi dan deforestasi hutan sampai saat ini. Belum lagi kasus folio, flu burung, busung lapar di daerah Lombok terselesaikan, pemerintah dikagetkan dengan kasus kelangkaan bahan pokok dan minyak tanah dan beberapa daerah lainnya yang selama ini dikenal sebagai daerah yang mempunyai ketahanan pangan tinggi.

Pemerintah seringkali menganggap penanganan peristiwa bencana yang terjadi di tanah air sudah selesai manakala telah ditetapkan sebagai kejadian yang luar biasa (KLB). Sebalinya agak susah meyakinkan pemerintah untuk percaya bahwa langkanya BBM, kebutuhan pokok seperti beras, degradasi hutan, busung lapar yang terjadi belakangan ini, pasti ada kaitannya dengan kondisi sumberdaya alam (SDA) Indonesia yang disinyalir semakin kritis, bukan kepada minimnya persedian yang ada sehingga perlu ditingkatkan lagi eksplorasinya. Benarkah seperti itu, perlukah kita melakukan pemetaan ulang sumberdaya alam Indonesia.

Pentingnya sumber-daya alam (SDA) dapat diwakilkan dari pendapat seorang ahli geopolitik abad ke 19 Frederich Ratzel, yang menyatakan bahwa “negara dapat dianalogikan sebagai suatu organisme yang memerlukan ruang hidup dan semakin tinggi budaya suatu bangsa, semakin besar kebutuhan dukungan SDA yang diperlukan”. SDA seperti hutan, air, ikan, terumbu karang, gas, minyak dan lain-lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup seluruh manusia di mana pun mereka berada. Pengelolaan SDA yang baik tidak saja memberikan manfaat bagi kesejahteraan manusia, namun juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi kesejahteraan suatu bangsa. Sebaliknya berkurangnya SDA akibat degradasi berdampak besar bagi kelangsungan hidup manusia secara umum.

Bagi Indonesia SDA memiliki peran ganda, disatu sisi digunakan sebagai tulang punggung perekonomian nasional dan di sisi lain sebagai penopang sistem kehidupan sosial masyarakat. Hasil hutan, hasil laut, pertambangan dan pertanian misalnya selain menyerap sebesar 45% tenaga kerja dari total angkatan kerja yang ada juga memberikan kontribusi sekitar 24.8 % dari Produk Domistik Bruto (PDB) untuk tahun 2002.

Namun, akibat penyerapan tenaga kerja yang mengedepankan pola produksi agresif, eksploitatif dan ekspansif, tanpa memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan pembangunan lingkungan (environmental development) menyebabkab fungsi lingkungan hidup semakin menurun. Sehingga wajar beberapa permasalahan yang muncul belakangan ini ibarat bom waktu akibat kerusakan (degradasi) SDA nasional sejak periode 1980-an yang berdampak selisih antara pemakaian dan cadangan menghasilkan saldo negatip dalam satu periode tertentu. Oleh karena itu persoalan dasar dalam pengelolaan SDA nasional adalah “bagaimana mengelola SDA agar memberi manfaat bagi kesejahteraan masyarakat tanpa menghasilkan saldo negatip atau mengorbankan kelestarian SDA itu sendiri”.

Pentingnya pemetaan neraca sumberdaya alam spasial

Pemetaan sumberdaya Alam spasial Indonesia yang paling lengkap pernah dibuat sekitar tahun 1980an dalam upaya mendukung program transmigrasi. Program ini dikelana sebagai proyek RePPROT (Regional Planning Program for Transmigration). Peta yang dihasilkan adalah sekitar 370 an lembar pada skala eksplorasi 1:250.000. Hingga kini peta tersebut masih dijadikan acuan dalam berbagai kegiatan terkait inventarisasi, evaluasi dan pemanfaatan SDA di wilayah manapun di Indonesia meskipun telah berusia lebih dari 30 tahun. Padahal Pengelolaan suatu objek seperti SDA akan berjalan optimal manakala di tunjang oleh informasi data terbaru dan akurat serta oleh adanya infrastruktur keruangan (spasial) Neraca Sumber Daya Alam (NSDA spasial).

Infrastruktur data spasial ini akan membantu analisis perencanaan, pengambilan keputusan dan pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi sumberdaya alam berdasar keruangan. Neraca SDA diartikan sebagai alat timbangan yang digunakan untuk mengetahui besarnya cadangan awal SDA (hutan, lahan, air dan mineral) yang dinyatakan sebagai Aktiva, dan besarnya pemanfaatan yang dinyatakan sebagai Pasiva, sehingga perubahan cadangan dapat diketahui sebagai besarnya sisa cadangan dan dinyatakan sebagai saldo dalam suatu wilayah per waktu tertentu.

Saat ini beberapa instansi terkait pengelolaan SDA telah membuat neraca sumberdaya alam nasional seperti Departemen Kehutanan dan Departement Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) masing-masing untuk hutan dan mineral dalam bentuk tabel statistik analog sebelah menyebelah (diskonto). Namun pemetaan neraca SDA spasial masih belum dilakukan akibat infrastruktur keruangan data dasar rupabumi dijital nasional, terutama skala menengah dan besar masih belum sepenuhnya tersedia. Sehingga wajar permasalahan belakangan ini yang sebenarnya bersumber pada permasalahan empat komponen SDA, yaitu hutan, lahan, air, dan Minyak dan Gas (mineral) selalu terulang tiap tahunnya, akibat kesulitan dalam pemutahiran data sumberdaya alam dalam sistem analog. Sehingga kondisi nyata sumberdaya alam kita baik cadangan, pemakaian dan saldo tidak diketahui dengan cepat selain ketidak pastian mengenai sebaran dan lokasinya.

Pemetaan neraca SDA spasial membantu mendapatkan informasi yang cepat, akurat, efektif dan efisien akan data sumberdaya alam disamping mudah dalam pemutahiran dan pengaksesannya. Pemetaan neraca SDA spasial saat ini dapat dikemas dalam sebuah sistem yang berbasis komputer sebagai bagian dari sistem informasi geogarfis (SIG) yang dikenal sebagai sistem informasi neraca sumberdaya alam spasial. Dalam pendekatan sistem ini, informasi sumberdaya alam tidak hanya ditampilkan dalam bentuk tabulasi dan grafik namun juga dalam bentuk peta yang interaktif. Sehingga penguna mudah untuk melakukan pemutahiran data tanpa harus mengulangi kerjaan dari awal, cukup menambahkan perubahan yang terjadi dan sistem secara otomatis akan melakukan perhitungan neraca beserta tampilan petanya. User interface utama pada sistem ini terdiri atas tiga komponen utama yaitu: (1) inventarisasi SDA dan penyusunan basis data , (2) penyusunan neraca dan akutansi (valuasi), (3) sistem tampilan, pencaharian dan penseleksian untuk membantu pengambilan keputusan dalam pengelolaan SDA.

Untuk menjamin keberlangsungan pembangunan SDA dalam jangka panjang maka pengarusutamaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (Sustainable development)tSustainable developmenteconomy viable), secara sosial diterima (socially acceptable), dan ramah lingkungan (environmentally sound). diseluruh sector, baik pusat maupun di daerah, menjadi keharusan. maksudnya adalah upaya memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengurangi atau menorbankan kepentingan generasi yang akan datang. Pilar utama prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu: secara ekonomi menguntungkan (

Adanya penolakan dari sebagian elemen kemasyarakatan atas diberlakukannya UU No. 39 tahun 2005 tentang tanah untuk pembangunan dan UU No 7 tahun 2004 tentang pengelolaan sumberdaya air sebagai bukti tidak adanya dukungan data dan peta neraca sumberdaya alam spasial disamping pengabaian pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan. Bila hal semacam ini terus berlanjut, maka berbagai persoalan seperti terjadi belakangan ini yang sebenarnya merupakan persoalan pada empat komponen sumberdaya alam akan selalu terjadi, selanjutnya akan menambah pekerjaan rumah yang pelik bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang bila salah penangannya bisa mengarah pada keresahan masa yang lebih luas dan berbuntut pada tuntutan politik.

Tidak ada komentar: