Senin, Januari 28, 2008

Pemetaan Rawan Bencana

Pendahuluan

Satu tahun sejak peristiwa bencana gempa bumi yang diikuti dengan gelombang pasang tsunami di NAD-Nias, ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik Bangsa Indonesia yaitu: 1) perlunya peningkatkan kesadaran dan kesiapan seluruh lapisan masyarakat bahwa mereka hidup dalam kawasan yang penuh bencana, 2) perlunya koordinasi dan penanganan bencana secara terpadu, 3) perlunya penyiapan data dan informasi geospasial yang baik untuk mendukung penanganan daerah bencana baik untuk masa darurat maupun masa rehabilitasi dan rekonstruksi.
Perlunya kesadaran bahwa, negara Republik Indonesia termasuk negara kepulauan yang aktif tektonik, aktif vulkanik, beriklim tropis basah, berpenduduk padat dengan berbagai suku bangsa, sehingga tidak pernah luput dari risiko terhadap bencana baik bencana alam maupun bencana akibat ulah manusia. Dengan kata lain, di mana saja dan kapan saja masyarakat di Indonesia selalu menghadapi risiko bencana, baik gempa bumi, letusan gunungapi, tsunami, longsoran, banjir, kekeringan, angin ribut, kebakaran hutan, dan kerusuhan antar etnik. Masing-masing jenis bencana tersebut mempunyai tingkat kerawanan dan mengakibatkan korban jiwa dan kerugian harta yang tidak sedikit.
Demikian pula, penanganan bencana tidak akan optimal apabila dilaksanakan secara aksidental, partial, dan sektoral. Kita terbukti belum memiliki kapasitas dan pengalaman yang tepat dalam merespon bencana tsunami di NAD secara cepat. Kita pun menyadari perlunya koordinasi lintas sektoral dan penanganan terpadu serta berkelanjutan dalam satu siklus penanggulangan bencana yaitu: sebelum terjadi bencana, saat terjadi bencana, dan sesudah terjadi bencana.
Penyediaan data dan informasi geospasial untuk mendukung analisa risiko bencana, merupakan satu langkah lebih lanjut dari penentuan tingkat kerawanan bencana. Daerah yang tingkat kerawanan terhadap satu jenis bencana tinggi, belum tentu mempunyai tingkat risiko yang tinggi, karena penduduknya jarang atau aktivitas ekonominya rendah. Sedangkan daerah yang tingkat kerawanan terhadap satu jenis bencana sedang hingga rendah, kemungkinan mempunyai tingkat risiko yang tinggi karena daerahnya padat penduduk dengan berbagai aktivitas ekonomi yang strategis.
Menumbuhkan kesadaran bersama terhadap daerah bencana alam sebelum benar-benar menjadi bencana, harus dimulai dari penyediaan informasi tentang kerawanan dan resiko atas bencana Hanya permasalahannya adalah, apabila informasi tersebut dilakukan secara konvensional lewat pemetaan langsung di lapangan dengan melibatkan sekitar 3-5 tenaga pemetaan, maka dibutuhkan waktu sekitar satu sampai dua bulan hingga dapat disajikan dalam bentuk peta. Dengan kata lain, dibutuhkan lebih dari 3000 tahun untuk menyelesaikan peta rawan dan resiko bencana seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki lebih dari 30.000 desa, atau sekitar 100 tahun untuk wilayah NAD. Belum lagi akibat perubahan yang cukup dinamis di lapangan yang memerlukan pemutahiran informasi
Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan sistem informasi geografis (GIS) terbukti mampu menyediakan informasi data geospasial setiap objek dipermukaan bumi secara cepat. Sekaligus menyediakan sistem analisa keruangan yang akurat. Maksud tulisan ini adalah memberi masukan dalam pemetaan rawan bencana dan risiko bencana dengan memanfaatkan teknologi remote sensing dan sistem informasi geografis. Peta rawan bencana dan resiko bencana ini diharapkan dapat dijadikan acuan untuk membantu penanganan bencana alam secara cepat sehingga meminimalkan korban dan kerugian harta benda akibat bencana, terutama dalam menentukan atau mengarahkan daerah yang diprioritaskan untuk segera ditangani. Selain itu, siapapun dapat menggunakan informasi tersebut untuk mengantispasi dampak bencana baik untuk respon darurat, pemulihan pasca bencana, penetapan strategi mitigasi bencana, ataupun perencanaan penggunaan lahan yang komprehensip dan menggabungkannya dengan pembangunan berkelanjutan.
Pemetaan Rawan bencana dan risiko bencana

Istilah yang terkait dalam tulisan ini adalah bencana (hazard/disaster), kerawanan (vulnerability) dan risiko (risk). Pengertian dari bencana, bencana, dan risiko perlu diformulasikan agar terdapat konsistensi dalam penggunaan dan pembahasannya.

Bencana (hazard) adalah suatu peristiwa di alam atau di lingkungan buatan manusia yang berpotensi merugikan kehidupan manusia, harta, benda atau aktivitas bila meningkat menjadi bencana. Banyak definisi tentang bencana (Lundgreen, 1986; Carter, 1992; UNDP/UNDRO, 1992; Sutikno, 1994; Bakornas PBP, 1998). Lundgreen (1986) mendefinisikan bencana sebagai peristiwa/kejadian potensial yang merupakan ancaman terhadap kesehatan, keamanan, atau kesejahteraan masyarakat atau fungsi ekonomi masyarakat atau kesatuan organisasi pemerintahan yang lebih luas. Bencana alam oleh Carrara (1984) dikatakan sebagai bencana yang disebabkan oleh proses alam atau proses alam yang dipicu oleh aktivitas manusia, dan merupakan salah satu unsur dalam penilaian risiko bencana. Sementara menurut UNDP/UNDRO (1992) yang dimaksud dengan bencana adalah semua fenomena atau situasi yang berpotensi menimbulkan kerusakan atau kehancuran pada manusia, jasa, dan lingkungan. Menanggapi banyaknya definisi tentang bencana Carter (1992) menyimpulkan bahwa sebagian besar definisi bencana (hazard) mencerminkan karakteristik: i) gangguan terhadap kehidupan normal, ii) efek terhadap manusia, seperti menjadi korban, luka/cacat, gangguan kesehatan, iii) efek terhadap struktur sosial, dan iv) kebutuhan masyarakat.

Kerawanan (vulnerability) adalah tingkat kemungkinan suatu objek bencana yang terdiri dari masyarakat, struktur, pelayanan atau daerah geografis mengalami kerusakan atau gangguan akibat dampak bencana atau kecenderungan sesuatu benda atau mahluk rusak akibat bencana(Sutikno, 1994; UNDP/UNDRO, 1992). Pada elemen kerentanan terdapat elemen intangibles, pada umumnya tidak diperhitungkan karena sulit perhitungannya, dan kebanyakan elemen tangible. Tingkat kerentanan bencana menurut dapat dinilai secara relatif berdasarkan macam dan besaran elemen bencana yang besarnya dinyatakan dengan skala numerik.

Risiko (Risk) merupakan perkiraan kerugian atau kehilangan akibat suatu bencana terhadap elemen yang menghadapi risiko di masa depan dalam suatu periode waktu tertentu (UNDP/UNDRO, 1992). Risiko suatu daerah atau suatu objek terhadap suatu jenis dapat diperhitungkan tingkatannya. Perhitungan risiko umumnya mempertimbangkan jenis dan besaran kehilangan atau kerugian. Parameter umum yang digunakan adalah biaya ekonomi, karena semua tipe kerugian dapat dikonversikan ke dalam biaya ekonomi. Efek yang dianggap sebagai biaya ekonomi disebut kerugian tangible (dapat diperhitungkan/dinilai), sedang yang tidak dapat dikonversikan ke dalam nilai uang disebut kerugian intangible.

Parameter yang digunakan untuk penilaian tingkat bencana alam dan parameter dasar penilaian untuk identifikasi elemen yang rawan terhadap bencana dan kerugian yang dinilai dalam analisis risiko bencana secara kualitatif tertera laporan UNDP/UNDRO (1992)

Analisa Data Geospasial untuk Pemetaan Rawan Bencana
Disadari pula bahwa banyak daerah di Indonesia yang rawan terhadap lebih dari satu jenis bencana, misalnya daerah yang rawan terhadap gempa bumi umumnya juga rawan terhadap bencana longsoran. Berkaitan dengan variasi kerawanan bencananya tersebut sekaligus membantu dalam menentukan skala prioritas penanggulangan bencana diperlukan identifikasi macam bencana sebagai bagian dari proses pemetaan rawan bencana dan resiko bencana. Flax dkk (2002) menggambarkan selain identikasi bencana terdapat proses lain dalam pemetaan rawan bencana dan resiko terhadap bencana alam yaitu, analisa bencana, analisa fasilitas infrastruktur, analisa sosial, analisa lingkungan, analisa ekonomi, dan kegiatan mitigasi.

1. Rawan Bencana Banjir


Secara hidrologis banjir disebabkan oleh banyak faktor, antara lain intensitas hujan yang sangat tinggi, perubahan koefisien aliran/limpasan air hujan, perubahan alur sungai (Lockwood,1987, dalam Sudibyakto, 2000). Hujan lebat merupakan salah satu penyebab banjir, yang dapat menyebabkan debit sungai meningkat dan memungkinkan untuk meluap. Selain itu, hujan dengan intensitas tinggi yang terjadi secara lokal berperan penting terhadap terjadinya banjir. Pembuatan peta kerawanan banjir memperhatikan karakteristik DAS sebagai daerah tangkapan air, yaitu :
1. Luas DAS

Luas DAS tidak hanya berpengaruh terhadap waktu konsentrasi tetapi juga berpengaruh terhadap volume total aliran air sungai. Rumus yang digunakan dalam menentukan luas DAS adalah :
 
Rumus : Qm = c. Adn
Keterangan :
        Qm : Debit Maksimum (m3/hari)
              c : Koefisien Aliran
              Ad : Luas DAS (Km2)
              n : Nilai Faktor

2. Bentuk DAS

Bentuk DAS berpengaruh terhadap bentuk hidrograf aliran pada outlet DAS tersebut. Bentuk hidrograf aliran tersebut adalah membulat dan memanjang. Bentuk membulat mempunyai waktu konsentrasi pendek, debit puncak yang tinggi, dan bentuknya meruncing. Bentuk hidrograf aliran memanjang mempunyai waktu konsentrasi lama, debit puncak rendah dengan bentuk hidrograf yang rata (smooth).
3. Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng dalam hal ini lereng permukaan dalam DAS atau gradien sungai akan berpengaruh langsung terhadap gerakan aliran permukaan.

4. Kerapatan Aliran (Drainage Density)

Rumus yang digunakan dalam menentukan kerapatan aliran (Drainage Density) adalah menggunakan rumus Horton, yaitu :
- Drainase Baik > 2,74 km/km2
- Drainase Sedang 0,73 - 2,74 km/km2
- Drainase Jelek  < 0,73
                 Nilai Dd juga menunjukkan adanya dissection level, perkembangan erosi dan tingkat genangan.
5. Batuan 
Batuan berpengaruh terhadap kapasitas storage yang selanjutnya terhadap karakteristik run-off. DAS dengan batuan impervious, tidak dapat menyimpan atau meresapkan air ke dalam batuan sehingga direct run off terjadi setelah hujan dan hidrograf dengan puncak tinggi, sedangkan DAS dengan batuan permeable dapat menyimpan air sementara dalam batuan sehingga run off kecil dan hidrograf yang ada dengan debit puncak rendah (kecil).
6. Penggunaan Lahan 
Penggunaan lahan berpengaruh terhadap penentuan criteria daerah rentan terhadap banjir, seperti tanah terbuka lebih resiko dibandingkan dengana danya penutup tanaman.

Penentuan Peta Rawan Banjir dihasilkan dari hasil tumpang-susun Peta Kerapatan Aliran, Peta Lereng, Peta Tutupan Vegetasi, Peta Bentuk Lahan, dan Peta Tanah. Proses tumpang-susun dilakukan dengan metode perkalian antara skor dari masing-masing peta input/masukan. Klasifikasi akhir hasil tumpang-susun menjadi klas rawan, sedang, dan tidak rawan pada dasarnya dilakukan dengan menggunakan kriteria klasifikasi klas kerawanan banjir tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Klas Kerawanan Banjir

































2. Metode penentuan tingkat risiko bencana banjir

2.a). Model I penentuan tingkat risiko bencana banjir.

Model pertama adalah model matematis, yang penilaian risiko didasarkan pada komponen bencana dan komponen kerentanan. Tiap komponen dijabarkan menjadi faktor penyebab terjadinya sesuatu yang berkaitan dengan bencana dan kerentanan. Tiap faktor dirinci menjadi indikator atau kelas yang berpengaruh pada besaran komponen. Fungsi komponen ditentukan besarannya bedasarkan nilai yang diberikan pada faktor dan indikator. Risiko merupakan gabungan nilai bencana dan kerentanan secara terintegrasi. Penilaian risiko didasarkan atas perkalian besaran komponen, faktor, dan indikator. Model matematis pada model ini adalah:

Risiko = nilai indikator x nilai faktor x nilai komponen.

              R = i x f x k

Dimana : R = risiko
               i = indikator, f = faktor, dan k = komponen

2.b). Model II penentuan risiko bencana banjir.
  Model kedua adalah model konseptual. Pada konsep ini setiap kejadian di dasarkan pada fungsi faktor yang berkaitan dengan risiko. Perbedaaan peran digunakan sebagai penentu pemberian bobot dan skor. Tiap faktor ditinjau fungsi terhadap kejadian, kemudian satu faktor dirinci menjadi kelas. Pada tingkat fungsi faktor diberi bobot dan pada kelas diberi skor sesuai dengan pengaruh pada satu proses, contoh: curah hujan menpunyai fungsi lebih besar dari pada lereng, maka bobot curah hujan lebih tinggi dari lereng dan pada klasifikasi curah hujan, hujan dengan kelas tinggi diberi skor lebih besar dari kelas dibawahnya. Curah hujan diberi bobot 50, dan lereng 40 sedang lereng 40 % diberi skor 50 dan lereng 25%-40% di beri skor 30 misalnya.
  Peran besaran pada tiap faktor dapat dibuat seragam klasifikasinya besar, sedang dan kecil dalam bentuk angka besar identik dengan 3, sedang 2 dan kecil 1. Dalam pemberian angka ini harus konsisten, pemberian angka 3 berarti peran besaran pada faktor tertentu tertinggi dan 1 adalah terendah.

Perkiraan bencana banjir dilakukan.
Curah hujan : nilai peran 50,
Klasifikasi Curah hujan :
Besar : 3
Sedang :  2
Kecil : 1

Lereng : Nilai peran 25
Klasifikasi Lereng : 
Besar : 3
Sedang :  2
Kecil : 1

Liputan lahan : Nilai peran 15
Klasifikasi Liputan lahan :
 Besar : 3
Sedang : 2
Kecil : 1

Tanah : Nilai peran 10
Klasifikasi Tanah :
 Besar : 3
Sedang : 2
Kecil : 1

  3. Metode dan Analisis Risiko Bencana Longsor

Sementara penyebab longsor dalam artian luas adalah: relief, drainase, batuan induk/batuan dasar, regolit, kegempaan, iklim dan pengaruh manusia ( Cooke dan Dornkamp, 1990). Variabel yang digunakan kedua bencana ini relatif hampir sama yaitu : satuan bentuklahan, lereng, tanah, batuan, proses geomorfik, air tanah, tutupan lahan dan curah hujan, sedangkan variabel sosial ekonominya meliputi aspek penduduk (jumlah) dan aspek harta benda (sawah, ladang, kebun, ternak, rumah dan isinya, dalam rupiah).

3.1. Metode penentuan tingkat kerawanan bencana longsor
Analisis longsor secara umum didasarkan pada lima faktor yang menyebabkan terjadinya yaitu : geologi, morfologi, curah hujan, penggunaan lahan, dan intensitas gempa. Berdasarkan faktor - faktor tersebut disusun tingkatan kerawanan bencana alam longsor dengan mengacu kriteria pada Sugalang dan Siagian (1991).
Peta Rawan Longsor dihasilkan dari tumpang-susun antara Peta Geologi, Peta Curah Hujan, Peta Lereng, Peta Penggunaan Lahan, Peta Tanah dan Peta Bentuklahan. Tumpang-susun dilakukan dengan mengalikan skor dari masing-masing peta masukan yang digunakan. Pemetaan daerah rawan bencana longsor ini dilakukan dengan pendekatan morfodinamik. Secara konseptual data yang dibutuhkan untuk analisis dan menentukan peta rawan bencana longsor adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 4. Hasil akhir dari proses tumpang-susun diklasifikasi menjadi 3 kriteria, yaitu :
1. Tidak rawan
2. Rawan,
3. Sangat rawan

3.2. Metode penentuan tingkat risiko bencana longsor

Kerangka kerja untuk penilaian risiko bencana longsor didasarkan pada potensi bencana, derajat kehilangan (vulnerability). Potensi bencana (yang mencakup intensitas atau magnitut dan probalititas kajadian) yang penilaian didasarkan pada faktor alamiah (yang dapat dikaji melalui observasi, inventarisasi, akunting dan peta tematik).

3.2.a. Metode I penentuan tingkat risiko bencana longsor.

Penilaian menurut Mark dan Stuart (1977, dalam Lundgreen, 1986) untuk menilai risiko bencana kemungkinan jebolnya suatu dam di Amerika dengan menggunakan rumus:

R = f pc C(v) ………………………………………………….(2)
dalam hal ini : 
R = risiko
                 fp c = probabilitas dari kejadian spesifik atau konsekuensi
C             (v) = nilai konsekuensi akibat bencana

Berdasarkan data hasil perkiraan tersebut, dapat diperhitungkan peta kemampuan lahan untuk tujuan dan bencana tertentu. Peta kemampuan lahan untuk memperkirakan risiko tersebut dapat menunjukan biaya tambahan akibat bencana dan kehilangan sumberdaya..

3.2.b). Metode II penentuan tingkat risiko bencana longsor

Metode ke dua menggunakan satuan medan sebagai satuan pemetaan bencana dan satuan evaluasi risiko. Variabel yang digunakan dipilih variabel selektif yaitu: kemiringan lereng, keterdapatan mata air, kedalaman muka airtanah, tingkat pelapukan batuan, kejadian longsor sebelumnya, kerapatan kekar, struktur perlapisan batuan, permeabilitas tanah/batuan, penutup lahan, dan curah hujan; sedang aspek sosial ekonomi variabel yang digunakan kerugian jiwa dan kerugian ekonomis. Kriteria dari masing-masing variabel ditentutkan berdasar klasifikasi yang dikembangkan oleh BAKOSURTANAL (2005)

Perhitungan tingkat risiko dengan cara kedua adalah sebagai berikut.

1) Jumlah harkat parameter medan:
· nilai maksimum (risiko tinggi)= 8(jumlah variabel medan) x 4 (nilai harkat maksimum tiap variabel) = 32
· nilai minimum (risiko rendah) = 8 (jumlah variabel medan) x 1 (nilai harkat minimum tiap variabel) = 8
2) Faktor keamanan (Bowles, 1984):
· nilai maksimum (risiko tinggi) = <1 o:p="">
· nilai minimum (risiko rendah) = >1,25
3) Parameter sosial ekonomi:
· nilai harkat maksimum = 1
· nilai harkat minimum = 0,1
4) Penilaian risiko spesifik adalah sebagai berikut:
· nilai risiko spesifik maksimum=32x1,07x1= 34,24 à 34 (dibulatkan)
· nilai risiko spesifik minimum = 8x1,25x0,1= 1
5) Elemen yang berisiko:
· Nilai maksimum yang berisiko = 1
· Nilai minimum yang berisiko = 0
6) Nilai risiko total
· Nilai risiko total maksium = 34 x1 = 34
· Nilai risiko total minimum = 1 x 0 = 0
7) Klas risiko total yang digunakan = 3, klas intervalnya= (34-0)/5= 7
Tingkat risiko totalnya menjadi:
· > 28 : risiko sangat tinggi
· 22 – 28 : risiko tinggi
· 15 – 21 : risiko sedang
· 7 – 14 : risiko rendah
· < 7 : risiko sangat rendah

3.2.c). Metode III penentuan tingkat risiko bencana longsor
Metode ketiga dalam penilaian risiko menggunakan pendekatan satuan medan sebagai satuan pemetaan, dan evaluasinya menggunakan pembobotan dan pengharkatan, seperti yang dikonsepkan Sutikno (2002). Penentuan tingkat risiko didasarkan pada nilai obyek bencana dan tingkat jumlah pekerja/aktifitas manusia dengan cara pengharkatan dan pembobotan. Rincian dari penentuan tingkat risiko adalah sebagai berikut.

1) Tingkat kerapatan rumah/gedung per satuan medan
a. kerapatan tinggi > 60% à H (tinggi)
b. kerapatan sedang 60-30% à M (sedang)
c. kerapatan rendah < style=""> à L (rendah)
d. Bobot tingkatan (relatif): H:S:R =3:2:1
2) Tingkat jumlah pekerja/aktivitas manusia di satuan pertanian/perkebunan/hutan dengan asumsi:
a. kerentanan dianggap konstan;
b. makin tinggi kerapatan rumah makin padat penduduknya;
c. tingkat aktivitas manusia di permukiman lebih tinggi, kemudian secara berurutan pertanian, perkebunan dan hutan;
d. nilai relatif bobot infrastruktur dianggap sama dan konstan, tidak mempengaruhi nilai risiko relatif dari unit bersangkutan.

4. Pemetaan Kerawanan Kebakaran Hutan

Berbagai model dikembangkan untuk pemetaan kerawanan kebakaran hutan (Chuvico dan Salas, 1996; Darmawan dkk, 2001). Secara ringkas terbagi tiga yaitu: model berdasarkan pemilihan senstif index atau pembobotan dan skoring atas faktor penyebab kebakaran hutan, berdasarkan regresi analysis, dan berdasarkan standard index.

Pemetaan resiko kebakaran hutan

Kajian risiko kebakaran hutan sebetulnya mirip dengan kajian bencana yang lain, yang membedakan adalah faktor penyebab, tingkat bencana dan elemen yang terkena menghadapi risiko. Analisa resiko kebakaran tergantung pada lokasinya apakah di hutan lindung atau di areal perkebunan.
  Risiko = nilai indikator x nilai faktor x nilai komponen ekonomi dan atau lingkungan.
  R = i x f x k

Dimana : 
R = risiko
i = indikator
f = faktor
k = komponen

Kesimpulan
Paper ini telah membahas tentang metodologi pemetaan rawan bencana dan pemetaan resiko bencana dengan memanfaatkan data penginderaan jauh dan teknologi sistem informasi geografis.
Diperlukan kesatuan aktivitas antara pemetaan rawan bencana dan pemetaan resiko bencana untuk wilayah terkena bencana di Indonesia. Bagi semua tipe bencana, kriteria penentuan tingkat risiko bencana dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. risiko tinggi
b. risiko sedang
c. risiko rendah

Integrasi teknologi penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis sangat membantu dalam penyusunan pemetaan rawan bencana dan resiko bencana.

2 komentar:

GEMA AZANI mengatakan...

Ass.Wr.Wb

Apa kabar pak Mul? perkenalkan saya Gema dari ambon. Saya sangat tertarik dengan tulisan bapak tentang pemetaan rawan bencana, khususnya berkaitan dengan pendekatan teoritis dalam mengantisipasi tingkat kerawanan bencana pada suatu kawasan atau wilayah.
Saat ini saya sedang melakukan studi untuk penyusunan tugas akhir saya berkaitan dengan identifikasi kawasan rawan bencana di Provinsi Maluku. Setelah membaca artikel bapak tersebut (posting tgl 28 Januari 2008), ada beberapa informasi yang sangat membantu saya dalam proses analisis penelitian dimaksud.
Masalahnya, beberapa formulasi yang disampaikan dalam blog bapak tidak terbaca dengan baik, sehingga saya kesulitan untuk mengadopsi formulasi-formulasi tersebut.
Oleh karena itu, bila bapak tidak keberatan, mohon kiranya bapak bisa membantu untuk mengirimkan file tersebut dalam format aslinya (syukur-syukur dalam format word, tp kl pdf juga ga apa).
Alamat email saya:
gauliazani@yahoo.co.id
Demikian yang dapat saya sampaikan. Moga sumbangsih yang diberikan kepada masyarakat Aceh dan sharing informasi ini, dapat meningkatkan kualitas hidup dan wawasan serta ilmu bagi mereka yang membutuhkan.
Terima Kasih

Wassalam

Anonim mengatakan...

selamat malam pak... saya juga sama halnya dengan saudara gema azani... saya juga sangat butuh file ini pak... saya harap bpk bersedia mengirimkannya ke email saya (n_9irl@yahoo.co.id)
terima kasih banyak ya pak...