Sabtu, April 05, 2008

Masalah Batas Administrasi Desa NAD

Batas administrasi sebenarnya merupakan satu layer utama dalam peta rupabumi Indonesia. Hanya biasanya, batas administrasi dalam peta rupabumi Indonesia (RBI) produk BAKOSURTANAL meski tercantum tetapi tidak dapat dijadikan dasar hukum penetapan batas sebenarnya di lapangan. Batas administrasi dalam peta rupabumi tidaklah diturunkan langsung secara fotogrametris dari data dasar peta seperti foto udara maupun data satelit tetapi merupakan data yang didapat di lapangan, baik dari pemerintah daerah ataupun badan terkait penetapan batas administrasi seperti Departemen Dalam Negeri (DEPDAGRI). Dasar hukum penetapan di lapangan biasanya melalui pendekatan peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 27 tahun 2006 tanggal 10 Oktober 2006, dengan melibatkan pemerintah daerah dan dokumen sejarah yang ada, sementara BAKOSURTANAL hanya mensuport dari segi pemetaan dan kartografi.

Batas administrasi yang tercantum di peta rupabumi selama ini paling detil hanya sampai tingkat kecamatan, sementara untuk desa hanya dicantumkan penamaan desa (toponimi) sesuai survei posisi seperti yang ada pada peta RBI skala 1:50.000 dan 1:25.000. Hal inilah yang menjadi sedikit masalah peran data geospasial untuk rehabilitasi dan rekonstruksi NAD-Nias yaitu ketersediaan data geospasial sampai level desa. Data administrasi wilayah NAD-Nias yang beredar dan banyak digunakan oleh hampir setiap pelaksana rehab-rekon adalah batas administrasi digital yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS). Entah tahun berapa, karena tidak diketahui catatan pembuatannya (historical record). Aceh frame menggunakan data BPS untuk laporan tahun 2005 dan 2006 desa-desa yang rusak terkena tsunami, padahal jelas terdapat perbedaan jumlah desa dalam laporan meraka yang bersumber dari data BPS dengan jumlah desa yang ada di lapangan, bahkan untuk kota Banda Aceh sendiri. Saya juga pernah menggunakan data BPS pada tahun 2001. Artinya data BPS tersebut kemungkinan telah ada sejak tahun 2001 alias data tersebut sudah beredar di kalangan masyarakat GIS.

Tahun produksinya tidaklah terlalu masalah, yang menjadi masalah adalah data BPS tersebut bukanlah referensi yang baik untuk digunakan sebagai data dasar pekerjaan menggunakan data geospasial di NAD-Nias. Data BPS tidak memuat posisi dan lokasi sebenarnya di lapangan, sehingga sangat sulit untuk digabungkan dengan data dasar yang ada. Dengan kata lain data BPS tersebut hanya sket tanpa memuat unsur geografis. Bahkan banyak kasus dijumpai batas desa juga salah. Saya tidak tahu persis bagaimana metodologi penentuannya, kenapa dikeluarkan oleh BPS dan data dasar apa yang mereka gunakan. Toponimi dari peta rupabumi skala 1:50.000 dari BAKOSURTANAL memuat lebih benar posisi desa dari data BPS.

Beberapa kabupaten mencoba membenahi batas administrasi tersebut, contohnya kabupaten Aceh Besar. lewat kerjasamanya dengan DED (the German Department Service) dan BAKOSURTANAL, GIS center Bappeda Kota Janto melakukan pemetaan desa menggunakan GPS dan bantuan data dari BAKOSURTANAL. Hasilnya tersimpan di kantor Bappeda Aceh Besar, GIS center..

Tidak ada komentar: